Wednesday 9 June 2010

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM MENYOAL EFEKTIVITAS PEMIDANAAN PELAKU PERNIKAHAN SIRI

GAGASAN

Guna mengatasi fenomena yang terjadi dalam rencana pemidanaan pelaku nikah siri, kawin kontrak dan poligami ini penulis menguraikan dalam poin-poin pembahasan sebagai berikut :

Kondisi Kekinian Praktik Pernikahan Siri Dalam Ketentuan Agama Islam.

Pernikahan dalam ketentuan Agama Islam adalah sah dan halal apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Pada kenyataannya pernikahan dalam Agama Islam sendiri diartikan sebagai pernikahan siri karena dilakukan tanpa pencatatan. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sendiri diatur bahwa pencatatan merupakan kewajiban negara, bukan sepenuhnya kewajiban masyarakat yang melangsungkan perkawinan. Oleh karena itulah penikahan siri yang selama ini tidak dipermasalahkan oleh agama selama tidak menimbulkan fitnah tiba-tiba disalahkan oleh hukum positif menjadi polemik yang berpotensi kekacauan di masyarakat. Disini penulis mengartikan bahwa pernikahan siri adalah pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat dari para ulama diantaranya uama-ulama dari MUI. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain sebagainya ( info@hizbut-tahrir.or.id diakses tanggal 2 Maret 2010).

Fakta-fakta yang Terkait Pernikahan Siri di Masyarakat.

Pernikahan siri yang menjadi polemik di masyarakat akan keabsahannya dapat dibahas secara mendetail jika ada fakta hukum yang menguatkannya. Ketika pernikahan yang sah secara agama dipersoalkan oleh hukum positif, harus ada pemahaman terhadap persepsi hukum yang terjadi. Pernikahan siri merupakan pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil. Sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni hukum pernikahannya dan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara. Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut dikategorikan ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”.
Seseorang dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah dan mubah atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh. Seseorang dinyatakan berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut meninggalkan kewajiban misalnya meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya. Disamping itu juga mengerjakan perbuatan yang haram, seperti minum khamer (alkohol), mencaci Rasulullah SAW, dan lain sebagainya. ( http://hizbut-tahrir.or.id/nikah-siri.php diakses tanggal 2 Maret 2010)
Ketentuan pencatatan untuk pernikahan sebenarnya menjadi tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah yang seharusnya proaktif mendata dan menyuluh masyarakat agar mencatatkan pernikahan. Selama ini tindakan yang dilakukan oleh pemerintah seperti menyelengarakan nikah massal dirasa kurang bermanfaat secara luas karena masih mencakup wilayah yang sempit. Begitu juga dengan pemuka agama yang bertanggung jawab memberikan tausiyah demi mempertajam dialektika masyarakat akan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur pernikahan.

Efektivitas Gagasan Sebagai Solusi Permasalahan Atas Rencana Pemidanaan Pelaku Nikah Siri.

Munculnya aturan yang multitafsir tentang perkawinan siri dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menjadi pokok problematika penerapan hukum. Perkawinan yang diatur dalam Al Qur’an sebagaimana telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditentukan Allah SWT maka telah sah perkawinan tersebut. Dalam ketentuan Islam yang mengedepankan kemaslahatan bagi umat manusia telah diatur bahwa perkawinan merupakan ikhwal yang sakral. Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan persyaratannya. Yaitu adanya dua calon pengantin baik bertatap muka atau jarak jauh, ada wali nikah dari pihak perempuan, ada saksi, ada maskawin, dan terlaksananya ijab-qabul perkawinan. Disamping itu, syarat bagi orang yang akan melangsungkan perkanikahan itu bukanlah pihak-pihak yang dilarang menikah menurut Islam. Seperti paman dengan keponakannya, haram untuk menikah.
Nikah Siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama, perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) pun menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada prinsipnya, selama pernikahan itu memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka dapat dipastikan secara agama bahwa pernikahan itu ada dasarnya dan sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menganjurkan agar pernikahan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya.
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam belum tentu syariat-syariat dapat diterapkan dalan kehidupan masyarakat. Harus diakui, sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini telah sukses memaksa sebagian orang terjerumus ke dalam kubangan perzinaan. Sistem tersebut tidak lain berisi sekumpulan aturan dan undang-undang yang mendukung sekularisme, liberalisme dan kapitalisme di berbagai aspek kehidupan. Lihatlah bagaimana sistem yang bekerja saat ini menghasilkan generasi para pezina, bahkan dalam usia yang sangat dini, melalui beberapa hal seperti yang diuraikan penulis di bawah ini.
Pendidikan sekuler yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengesampingkan agama. Kita bisa melihat praktek pendidikan sekuler di beberapa sekolah tingkat menengah, tingkat atas maupun tingkat dasar yang di dalamnya ditekankan lebih penting meraih kesejahteraan hidup dibandingkan dengan mendalami nilai-nilai agama. Misalnya kegiatan-kegiatan yang diadakan selama ini lebih ke konser musik atau peragaan busana yang ”menampilkan” aurat, dan lain sebagainya secara tidak langsung mempengaruhi kondisi psikis remaja untuk melakukan hal-hal yang berujung pada tindakan yang mendekati zina. Kegiatan keagamaan bagi remaja saat ini kiranya semakin dikesampingkan. Pendidikan sekuler ini nyata-nyata menjadikan masyarakat terutama generasi muda dibuat tidak matang secara intelektual, emosional apalagi moral. Dekadensi moral dan dikesampingkannya ajaran agama tentu menjadi perhatian serius seluruh elemen bangsa bahwa generasi muda paling rentan tergoda melakukan perbuatan yang mendekati zina. Akhirnya, mereka mudah terombang-ambing dan terjerumus ke dalam lembah maksiat, termasuk perzinaan.
Kemudahan mengakses sarana pornografi dan pornoaksi. Semua itu disediakan oleh pemrakarsa industri yang menjadikan aurat dan syahwat sebagai core-business (bisnis inti) mereka dan dilegalkan pemerintah. Hal tersebut mengandung makna bahwa lemahnya kontrol dan pengaturan oleh pemerintah atas konten pornografi dalam internet yang hingga saat ini tidak tersentuh hukum. Begitu pula pengaturan Internet Soft Product justru menuai protes karena bertentangan dengan kebebasan pers. Kemudahan akses internet terlebih web porno sangat mudah dan disembarang area dapat dilakukan karena berkembangnya fasilitas hotspot. Terlebih generasi muda yang terus-menerus dibombardir oleh berbagai sarana pornografi dan pornoaksi tersebut. Akibatnya, di tengah tidak adanya pegangan hidup yang kuat yaitu agama, hasrat seksual mereka pun tak terbendung. Saat sebagian dari mereka itu masih percaya dengan ikatan luhur pernikahan dan berniat untuk segera menikahi pasangan mereka, ironisnya pintu pernikahan dini pun ditutup rapat-rapat. Yang melanggar bisa dipidanakan. Akhirnya, mereka pun mencari jalan pintas dan aman: berzina. Kemudian ditambah dengan sanksi hukum yang tidak jelas. Hingga hari ini, dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemidanaan atas pelaku zina, selama dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal tidak ada orang yang berzina karena dipaksa. Intinya, zina tak lagi dianggap kriminal. Akibatnya, orang tak akan pernah merasa takut untuk melakukannya.
Dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama terdapat ketentuan pidana terkait dengan perkawinan siri dan perkawinan mut'ah (kontrak). Para pelaku yang melanggar ketentuan tersebut terancam hukuman penjara berkisar enam bulan hingga tiga tahun. Hal itu dilakukan agar tidak ada korban dalam anggota keluarga, seperti istri dan anak yang tidak bisa dilindungi oleh negara. Permasalahan yang dibahas selanjutnya adalah usulan mengkriminalisasi hal yang bersifat administratif itu. Dalam Hukum Positif, kesalahan administratif hukumannya pun administratif. Kesalahan administratif tidak bisa dipidanakan.
RUU Peradilan Agama juga terdapat ketentuan pidana mengenai orang yang menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dalam hal ini bisa petugas pencatat, dapat diancam dengan hukuman penjara berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun. Pasal 143 menyebutkan, pelaku nikah siri akan didenda maksimal Rp 6 juta atau kurungan maksimal enam bulan. Sedangkan pelaku kawin kontrak diancam pidana maksimal tiga tahun dan perkawinannya batal demi hukum. Bahkan, setiap lelaki yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari istri pertama. Izin tersebut harus disahkan di pengadilan, jika tidak maka akan didenda maksimal Rp 6 juta atau kurungan maksimal enam bulan penjara. ketentuan ini masih dalam kajian untuk disahkan, dimana dalam proses tersebut terdapat banyak kendala yang pada dasarnya dikarenakan ketidak sesuaian pada pandangan dalam konteks Hukum Islam.
Ketentuan pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) yang absah secara syar’i patut dipertanyakan motifnya. Pasalnya, jika alasannya karena praktik nikah siri dan poligami selama ini banyak merugikan pihak perempuan, terutama menyangkut hak-haknya di depan hukum/pengadilan (misal: sulit menuntut hak nafkah jika terjadi masalah dalam rumah tangganya, apalagi sampai terjadi perceraian; susah mendapat hak waris jika suami meninggal; sukar mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya; dll), maka yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Pemidanaan kepada pelaku pernikahan siri yang tertulis dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan kiranya tidak efektif diberlakukan. Pidana penjara dan denda yang dijatuhkan terlalu sedikit bagi orang kaya. Apabila pelaku pernikahan siri dipidana sesuai dengan RUU diatas yaitu 6 bulan atau membayar denda sebesar enam juta rupiah, maka selanjutnya bila pelaku melakukan perbuatan yang sama tidak akan bisa dituntut untuk kedua kalinya. Karena hal tersebut bertentangan dengan asas nebis in idem bahwa perkara yang sama, pelaku yang sama tidak bisa dituntut untuk kedua kali di pengadilan yang setingkat. Ketentuan pemidanaan tersebut merupakan ketentuan hukum positif bagi pernikahan siri di Indonesia. Tentu pemberlakuan ketentuan hukum posritif tidak bisa memaksa untuk mengesampingkan ketentuan agama. Apabila dipaksakan untuk mendiskreditkan agama, maka akan memicu kesenjangan hukum dan konflik horisontal dalam kehidupan bermasyarakat. Tolak tarik antara kepentingan hukum positif dengan agama justru akan menjadi problematika serius yang menghalangi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Berkaitan dengan pemidanaan pelaku nikah siri, peran stakeholder diperlukan secara proaktif dalam menangani permasalahan tolak tarik kepentingan hukum dan agama pemidanaan nikah siri. Jika RUU Pengadilan Agama Bidang Perkawinan tersebut disahkan sebagai UU, diperkirakan muncul problematika baru yakni perilaku masyarakat yang gemar melakukan pernikahan siri sembunyi-sembunyi demi memenuhi hasrat pribadinya. Tentu saja problematika diatas menjadi pekerjaan rumah baru bagi stakeholder terutama pemerintah karena pelaku pernikahan siri cenderung ”ingin” menguji kemampuan pemerintah dalam menegakkan pemidanaan pelaku pernikahan siri. Akhirnya harus terdapat kesesuaian antara peraturan perundang-undangan, ketentuan agama, dan langkah pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tolak tarik ketentuan hukum ini.

Pihak-Pihak yang Berkepentingan (Stakeholders) Dalam Gagasan Mengenai Pernikahan Siri.

Pemerintah
Dalam masalah rencana pemidanaan pernikahan siri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan di Indonesia, hendaknya pemerintah memperhatikan aspek-aspek kemasyarakatan agar kebijakan yang dikeluarkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi polemik ini. Langkah pemerintah mampu mengatasi permasalahan pernikahan siri secara efektif dan juga tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah berakar dalam masyarakat. Perlu diketahui bahwa dalam pernikahan siri yang dapat menimbulkan permasalahan adalah dicatat atau tidaknya suatu pernikahan tersebut dalam catatan pemerintah. Pencatatan pernikahan dalam hal ini dilandasi karena terancamnya hak-hak seorang istri dan anak apabila kelak terdapat konflik ketika pernikahan. Dalam hal pencatatan pernikahan yang harus dilakukan warga negara, sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam mengatur dan menjaga hak dari warga negara. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dijelaskan bahwa pencatatan pernikahan (sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 bahwa istilah perkawinan yang lebih lazim digunakan dalam penulisan adalah pernikahan) merupakan tanggung jawab negara yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Pemerintah yang menjalankan tugas negara melalui Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama secara tersirat diberi amanah untuk proaktif terjun langsung untuk mendata warga untuk mencatat pernikahan.

Hakim Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan lembaga yang diembankan oleh negara untuk mengurusi masalah pernikahan warga negaranya. Dalam hal ini penulis mengkaji peran hakim sebagai penentu keputusan terhadap masalah pernikahan. Ketika masalah dalam pernikahan diajukan di Pengadilan Agama, hakim harus menggali nilai-nilai luhur agama sebagai pertimbangan dalam memutus perkara. Rencana pemerintah untuk memidanakan pelaku pernikahan siri memberikan pedoman kepada hakim dalam mengambil keputusan. Namun dalam masalah agama, keputusan tidak hanya ditentukan oleh prosedur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, melainkan perlu juga mempertimbangkan kemaslahatan umat agama. Hal yang mendasari pemahaman dan kebijakan seorang hakim dalam memandang suatu permasalahan hukum yang bersangkutan dengan keadilan, hakim tidak hanya memandang hukum dari sudut materiil peraturan saja. Apabila keputusan yang diambil hakim mendiskreditkan aspek kemasyarakatan yang berkaitan dengan hati nurani, artinya hakim tersebut kurang memahami konsep keadilan diluar peraturan-peraturan yang ada dengan kata lain hakim tidak progresif ketika menangani perkara hukum yang bertujuan menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Pencatat Sipil
Suatu pernikahan telah dihimbau oleh pemerintah untuk dicatatkan guna adanya kepastian formal dan diakui oleh negara. Hal ini sebagai upaya pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dalam mencatatkan pernikahan. Namun pada penerapannya pemerintah yang dalam hal ini diwakilkan oleh Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Dispendukcapil) selaku pencatat pernikahan terlalu mempersulit proses pencatatan pernikahan. Misalnya sebatas mengurus buku nikah harus melalui alur yang ”panjang” mulai dari RT, RT, Kelurahan, Kecatmatan, ke Dispendukcapil, kemudian legalisir surat nikah ke Kecamatan lagi, lalu membuat surat pernyataan bermaterai yang harus ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk Dispendukcapil, dan kembali ke Dispendukcapil untuk mengambil catatan pernikahan. Paparan alur tersebut belum ditambah dengan biaya yang harus dikeluarkan dalam mengurusnya juga waktu yang relatif lama. Belum tentu semua warga mampu untuk membayar seluruh biaya administrasi pencatatan pernikahan karena memang tidak sedikit warga yang tergolong ekonomi lemah. Sekelumit prosedur pencatatan pernikahan yang penulis uraikan sesuai dengan alur yang tertera di Dispendukcapil, kiranya terlalu rumit bagi sebagian masyarakat sehingga masyarakat yang tidak ingin direpotkan oleh proses yang tidak efisien tersebut lebih memilih untuk menunda-nunda melakukan pencatatan pernikahan setelah melangsungkan pernikahan siri.

Pemuka Agama
Dalam pernikahan, pemahaman mengenai makna dari sebuah pernikahan yang merupakan suatu ikatan yang sakral untuk menjalin hubungan lahir dan batin antara seorang suami dengan seorang istri (menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, asas perkawinan di Indonesia adalah monogami) harus benar-benar dipahamkan secara mendalam di hati kedua belah pihak yang melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini fungsi seorang pemuka agama sangatlah penting untuk memberikan tausyah-tausyah mengenai makna dalam suatu pernikahan sehingga mampu menguatkan komitmen dalam pernikahan agar tidak mendekati zina.

Langkah-Langkah Strategis Gagasan.

Gagasan yang diberikan penulis dalam PKM-GT ini sesuai dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai maka perlu untuk dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut :
Pemerintah dalam menjalankan kewajiban pencatatan pernikahan agar proaktif mendata warga secara berkala untuk menghindari dampak negatif yang berujung pemidanaan pelaku pernikahan siri. Program sensus seharusnya dioptimalkan sebagai sarana bagi warga yang dituntut mencatatkan pernikahan dengan lebih mudah secara prosedural.
Pemuka agama sebagai panutan masyarakat dapat lebih mengintensifkan kegiatan keagamaan seperti tausyiah-tausyiah yang berguna memperdalam pemahaman masyarakat akan pentingnya menghargai nilai-nilai luhur pernikahan agar dapat menjauh dari perbuatan-perbuatan yang mendekati zina. Pemuka agama juga berfungsi sebagai penengah/pendamai apabila terdapat permasalahan dalam pernikahan misalnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cekcok Suami Istri, dan lain sebagainya. Sehingga ke depannya apabila RUU Hukum Materiil Peradilan Agama disahkan sebagai Undang-Undang dapat mengurangi potensi munculnya pelaku pernikahan siri yang bisa dijatuhi pidana. Karena tidak semua penyelesaian masalah dalam pernikahan dapat memenuhi keadilan dan kemanfaatan jika diselesaikan melalui peradilan.
Dinas Kependudukan Catatan Sipil sebagai pihak yang memiliki peran vital dalam pencatatan pernikahan seharusnya memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus pencatatan pernikahan. Kemudahan prosedur dapat berupa alur waktu pengurusan yang lebih singkat, biaya yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dan tentu saja menghapus pungutan liar.
Langkah strategis juga dilakukan oleh Hakim Peradilan Agama yang harus menggali nilai-nilai keagamaan yang ada di masyarakat yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memutus perkara pernikahan. Hakim harus mengedepankan progresivitas hukum sehingga menghasilkan keputusan yang sesuai dengan kemaslahatan.

KESIMPULAN

Gagasan Tertulis

Dari uraian pendahuluan sampai dengan pokok-pokok gagasan, penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa gagasan yang akan penulis kemukakan dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut :
Rencana pemberlakuan pengaturan pernikahan siri dalam Hukum Islam memunculkan problematika dalam masyarakat dimana keabsahan pernikahan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan agama dalam kenyataan disebut pernikahan siri karena tidak dicatat dalam kantor catatan sipil. Pernikahan yang sah menurut Agama Islam sama dengan ketentuan hukum positif dalam penyebutan nikah siri. Oleh karena itu sekiranya pemerintah tidak perlu memaksakan ketentuan pemidanaan bagi semua pelaku pernikahan siri karena jika dipaksakan untuk dipenjara maka penjara akan penuh padahal lahan penjara saat ini sudah overload. Meskipun dikenai pidana denda sebesar ketentuan dalam RUU Pengadilan Agama Bidang Perkawinan, juga tidak efektif karena besarnya denda yang terlalu sedikit bagi orang yang mampu secara ekonomi sehingga jika mengulangi perbuatan untuk kedua kalinya tidak dapat dituntut (nebis in idem).
Berkaitan dengan pemidanaan pelaku nikah siri, peran stakeholders diperlukan secara proaktif dalam menangani permasalahan tolak tarik kepentingan hukum dan agama pemidanaan nikah siri. Jika RUU Pengadilan Agama Bidang Perkawinan disahkan sebagai UU, diperkirakan muncul problematika baru yakni perilaku masyarakat yang gemar melakukan pernikahan siri sembunyi-sembunyi demi memenuhi hasrat pribadinya. Tentu saja problematika diatas menjadi pekerjaan rumah baru bagi stakeholder terutama pemerintah karena pelaku pernikahan siri cenderung ”ingin” menguji kemampuan pemerintah dalam menegakkan pemidanaan pelaku pernikahan siri. Akan lebih baik jika Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan diganti dengan substansi yang sarat akan sanksi pidana terhadap pelaku zina maupun pelaku penodaan agama yang selama ini belum diakomodasi dalam peraturan hukum tertulis. Akhirnya harus terdapat kesesuaian antara peraturan perundang-undangan, ketentuan agama, dan langkah pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tolak tarik ketentuan hukum ini.
Pengaturan pernikahan siri yang dibahas sangat berlarut-larut dalam mesyarakat tidak menemukan hasil yang signifikan karena perbuatan yang lain seperti zina, kawin kontrak (muth’ah), dan poligami lebih pantas untuk diatur dalam ketentuan peratutan perundang-undangan tersendiri yang selama ini belum terakomodir.

Implementasi Gagasan

Gagasan yang telah penulis paparkan diatas akan bermanfaat sesuai dengan tujuan apabila diimplementasikan dalam aspek nyata. Gagasan penulis menjadi sebuah referensi bahwa tidak semua peraturan perundang-undangan mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana telah penulis uraikan dalam gagasan, kiranya dapat melaksanakan langkah-langkah strategis dalam upaya menemukan solusi atas pemidanaan pelaku nikah siri. Pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam mendata warga yaitu dengan terjun langsung ke masyarakat baik itu memberikan penyuluhan mengenai pentingnya pencatatan pernikahan dan memberikan fasilitas yang memadai bagi masyarakat dalam mengurus pernikahan yang sah secara hukum positif. Pemuka agama selaku panutan bahkan hakim di masyarakat dapat menanamkan gagasan penulis bahwa tidak semua permasalahan itu hanya bisa diselesaikan melalui pengadilan apalagi mengenai pernikahan. Selanjutnya masyarakat juga harus menyadari bahwa pernikahan yang sah secara agama juga dicatatkan dan diumumkan karena walimatul ’ursy. Masyarakat juga harus lebih jeli dalam membahas fenomena karena pernikahan siri yang tiba-tiba dipermasalahkan secara hukum positif kiranya tidak efektif untuk dipidanakan. Justru masalah zina yang dilegalkan pemerintah seperti lokalisasi, bebasnya masyarakat dalam mengakses website porno, dan prostitusi legal lainnya lebih pantas untuk dikenai sanksi pidana dalam hukum positif dan agama pun dengan jelas melarangnya karena merupakan perbuatan maksiat.

Prediksi Gagasan Menyoal Efektivitas Pemidanaan Pelaku Pernikahan Siri.

Dalam implementasi gagasan penulis memaparkan bahwa tidak akan berguna jika peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat hanya peraturan tertulis dalam hukum positif saja. Ketentuan agama yang merupakan pedoman hidup setiap insan Tuhan tidak boleh dikesampingkan demi tegaknya hukum positif. Gagasan penulis atas fenomena rencana pemidanaan pelaku pernikahan siri nantinya, apabila RUU Huum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan disahkan menjadi Undang-Undang dan ternyata bertentangan dengan ketentuan agama tertentu, maka dapat diajukan judicial review yang bertujuan memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat secara umum. Namun apabila RUU tersebut tidak jadi disahkan, akan lebih baik jika diubah substansinya untuk memidanakan pelaku perzinahan dan meniadakan kawasan-kawasan prostitusi legal di Indonesia.

Disusun oleh:

Harris Fadillah Wildan E 0006141 (Ketua)
Muhamad Arif Setiawan E 0007165 (Anggota)
Miqdad Azizta Pugara E 0009219 (Anggota)

No comments:

Post a Comment