Wednesday 9 June 2010

Paper HAN kls F

Nama : Miqdad Azizta Pugara
NIM : E0009219
3 juni 2010

KEBIJAKAN MENGENAI
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


Menarik ketika membicarakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan 81.000 Km garis pantai, dimana sekitar 70 % wilayah teritorialnya berupa laut. Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta Km2 (berdasarkan konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan non hayati yang melimpah (Simanungkalit dalam Resosudarmo, dkk.,2002). Hal ini menyebabkan sebahagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah sekitar wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Pemerintah dengan upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 yang merupakan produk hukum pertama yang khusus mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam undang-undang tersebut didefinisikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pula kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan managemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 digunakan dengan tujuan memberikan arahan bagi pemerintah daerah bagi pengalokasian dan penggunaan sumberdaya, sehingga perlu adanya suatu kerangka kerja dan kebijakan resmi serta prosedurnya. Naskah lengkap undang-undang tersebut dapat diunduh pada web-http//www.setneg.go.id/index.
Namun pada hakikatnya dalam penerapan suatu kebijakan baru, memang akan selalu terjadi pertentangan. Apalagi bila diasumsikan merugikan rakyat, dalam hal ini Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 telah banyak menarik respon bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan yakni nelayan sebagai warga pesisir yang merasa terusik dengan diberlakukan undang-undang tersebut. Pada posisinya, pemerintah berargumentasi untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha; dengan harapan dapat mendatangkan pendapatan bagi negara dari kegiatan yang berlangsung di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Sedangkan kelompok masyarakat sipil memandang bahwa pelajaran buruk sekaligus berharga dari kebijakan pengelolaan sektor keruk seperti hutan dan tambang, tidak boleh terulang kembali dalam pengelolaan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil Indonesia. Dikeluarkannya UU PWP-PPK yang didahului dengan Undang-undang Penanaman Modal (UU PM) seolah menjadi paket ;jual murah; perairan pesisir kepada pemodal, termasuk asing. Tentu kekhawatiran publik adalah wajar, jika Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang dipromosikan dalam UU PWP-PPK dapat dicermati secara seksama. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16), dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali (Pasal 19).
Dengan demikian undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi merugikan Nelayan. Berikut kutipan mengenai hal tersebut yang dikutip dari Berita Lingkungan oleh Marwan Aziz, 2010 (http://www.beritalingkungan.com).
Abdul Halim, Koordinator Program KIARA dalam siaran persnya diterima Beritalingkungan.com mengungkapkan, sejak diajukan pada tanggal 13 Januari lalu, permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP3K oleh nelayan tradisional, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta Tim Advokasi Tolak HP3 akhirnya diterima oleh Mahkamah Konstitusi, Kamis (04/03) Penerimaan permohonan ini disampaikan oleh Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum (Hakim Ketua), Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum (Anggota), dan Hamdan Zoelva, S.H., M.H. "Diterimanya permohonan gugatan ini menandakan bahwa ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU tersebut dalam kebijakan daerah,"ujarnya. Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral."Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan berbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dipahami bahwa dalam peraturan tersebut menandakan bahwa ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen Undang-undang tersebut dalam kebijakan daerah, serta adanya potensi bahaya dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Secara substantif UU No 27 Tahun 2007 mengandung tiga orientasi kepentingan dalam memaknai pengelolaan wila¬yah pesisir yakni (1) industrialisasi/¬privatisasi yang ditandai ha¬dir¬nya HP-3, dan aturan ak¬reditasi; (2) konservasionis de¬ngan munculnya terminologi eko¬sistem, bio-ekoregion, ka¬wasan konservasi, hingga rehabilitasi; (3) “Rakyat” dengan pe¬ngakuan masyarakat adat, istilah masyarakat lokal, ma¬sya¬rakat tradisional, hingga ke¬arifan lokal. Akan tetapi, berbagai istilah tersebut diatas juga masih mengandung “kontroversi”, terutama permasalahan tentang hak masyarakat adat akankah masyarakat adat yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan HP-3nya, dan siapa yang akan menjamin bahwa tidak terjadinya transferability ke pemilik modal sehingga UU No.27 tahun 2007 ini benar-benar dapat menjadi payung hukum bagi Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil.
Bila dikaitkan dengan kondisi nelayan di Indonesia, Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan. Kemiskinan, rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta kurangnya informasi sebagai akibat keterisolasian pulau-pulau kecil merupakan karakteristik dari masyarakat pulau-pulau kecil (Sulistyowati, 2003). Hasil pembangunan selama ini belum dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terpencil. Masyarakat diletakkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan, dengan demikian dibutuhkan perhatian dan keinginan yang tinggi untuk memajukan kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai pengelola sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat berlangsung secara lestari (Sulistyowati, 2003).
Dengan demikian, bukankah sangat miris bila ternyata dengan kondisi nelayan maupun masyarakat pesisir seperti yang telah disebutkan, ditambah dengan potensi yang merugikan nelayan dengan berlakunya undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menimbulkan persoalan ditingkat daerah seperti terurai dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang membolehkan pemilik modal melakukan privatisasi dan eksploitasi atas sumber daya alam pesisir dan laut selama 60 tahun. Mengenai hal itu, nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dipinggirkan dari ruang hidupnya.

Comment :
1. Mengenai kebijakan tersebut, yakni undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya pemerintah dalam pemberlakuannya mampu memberikan kenyamanan kepada masyarakat pesisir atau nelayan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kehidupan masyarakat pesisir.
2. Hendaknya mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana
3. Persoalan dari privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dimana hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak terampas dan harus dipahami, keterikatan nelayan dengan laut (termasuk tanah pesisirnya dan pulau) adalah jantung kehidupan. Sebagaimana petani dengan tanah.
4. Dalam hal ini, yang akan mengambil keuntungan besar adalah pihak swasta dan nelayan kaya. Sedangkan mayoritas nelayan secara perlahan-lahan akan menjadi buruh nelayan dan kemiskinanpun semakin melekat pada masyarakat pesisir.

No comments:

Post a Comment