Wednesday 9 June 2010

“Korelasi Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam Perspektif Hak Asasi Manusia “.

A. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan Jalan Pencabutan Hak Atas Tanah dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.
Setelah memahami tentang apa itu Hak Asasi Manusia (HAM), pertanyaan yang kemudian perlu kita ketahui adalah siapakah yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia? Apakah itu pelanggaran Hak Asasi Manusia berat atau tidak? Lalu siapakah yang bertanggung-jawab? Bagaimana pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut dapat terjadi? Yang paling pertama harus dibedakan adalah pelaku tindak pelanggaran dan pertanggungjawaban. Keduanya memiliki aspek yang berbeda dalam wacana Hak Asasi Manusia. Terjadinya tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat dilakukan oleh siapapun, baik itu perorangan maupun kelompok. Dalam kondisi apapun, pertanggung-jawaban harus dibebankan kepada negara sebagai representasi pemangku mandat dari warga negara. Namun tidak menutup kemungkinan orang/kelompok dapat dikriminalisasi untuk mempertanggungjawabkan tindak pelanggaran yang telah dilakukan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (6) menyatakan:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebutan yang diberikan pada hak dasar yang dimiliki oleh manusia, dan dipandang sangat mutlak bagi perkembangan manusia. Ketika hal ini dipersandingkan dengan istilah kepentingan umum, setidaknya ada sisi utama, yakni pada sisi manusia yang akan diatur demi kepentingan umum. Apakah kepentingan umum itu dapat menunjang perkembangan manusia tersebut. Artinya, ketika sesuatu hal akan dilakukan dengan nama kepentingan umum, maka sisi Hak Asasi Manusia menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dalam dimensi Hak Asasi Manusia, terdapat klausula yang disebut sebagai hak manusia atas pembangunan. hak azasi harus berkaitan dengan hak hidup dengan standar yang juga semakin meningkat, karenanya punya kaitan erat dengan pembangunan. Artinya, hak atas pembangunan termasuk Hak Asasi Manusia, sebab manusia tidak dapat hidup tanpa pembangunan(Effendi Masyhur. 2005:103).
Dalam konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Yang perlu digaris bawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan.
Suatu masalah yang kemudian muncul sehubungan kewenangan negara di atas adalah masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Praktis, hal ini bukanlah yang rumit. Mengingat yang memang pada dasarnya masyarakat indonesia sangat menjunjung tinggi kolektivitas, sehingga pengadaan tanah untuk kepentingan umum bukanlah menjadi masalah rumit. Namun seiiring arus indistrialisasi masuk di indonesia, tepatnya dimulai pada fase ekonomi-politik “tanam paksa” (culturstelseel) di tahun 1830. Secara pelan-pelan paradigma masyarakat indonesia mulai berubah, yang tadinya menjunjung tinggi kolektivitas kini menjadi individualistik.
Seperti kasus yang terjadi pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Rembang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (12/5), yang memantau dan mengusut kasus lahan sengketa PLTU 1 Jawa Tengah. Telah menemukan sejumlah indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam proses pengadaan tanah. Pertama, proses pengadaan tanah tidak sesuai prosedur karena tidak melibatkan warga. Kedua, warga belum sepakat dengan harga ganti rugi, tetapi PT PLN dibantu pihak-pihak lain menguasai lahan dan merusak tanaman warga. Kejadian itu menimbulkan keresahan warga pemilik tanah. Ketiga, penguasaan lahan yang belum disepakati harga ganti ruginya didasarkan pada keadaan darurat, yaitu mendesaknya program nasional percepatan energi listrik 10.000 megawatt. Seharusnya, penguasaan itu berdasarkan negosiasi atau musyawarah dengan warga. ( http://jawa.infogue.com/ada_indikasi_pelanggaran_Hak Asasi Manusia_di_pltu_rembang berita tanggal 13 Mei 2006 diakses pada 20 Mei 2010)
Dari paparan diatas maka dapat kita ketemukan indikasi pelanggaran ketentuan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai hak atas kesejahteraan yang termuat dalam Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum dan ayat (2) menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
Pada prinsipnya dalam hukum agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah yaitu(Wiradi, Gunawan. 2001:89):
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah). Perpres No 36/2005 memberikan definisi pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. .
2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Berdasarkan penjelasan umum UU No. 20/1961 ini dapat dipaHak Asasi Manusiai bahwa sesungguhnya pencabutan hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah, dalam hal ini presiden. Bentuk kewenangan yang diberikan undang-undang adalah untuk melakukan tindakan dengan secara paksa mengambil dan menguasai tanah seseorang untuk kepentingan umum
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar azas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah. Jika pada Perpres No. 36/2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65/2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan segampangnya saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia, Perpres No 65/2006 lebih agak manusiawi dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.
Secara teknis dalam Perpres No 65/2006 meyebutkan pelepasan tanah dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah ini bertugas untuk mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya serta melakukan inventarisasi atas tanah dan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut. Selanjutnya panitia pengadaan tanah ini akan menetapkan besaran ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan. Suatu terobosan kecil yang diberikan oleh Perpres No 65/2006 adalah dengan dicantumkannya pasal 18 A. Pasal 18 A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya.
Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Wali Kota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri. Ini artinya memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang nota bene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini. Sekali lagi dengan berlakunya Perpres No 65/2006 ini, sedikit memberikan kepastian hukum dan aturan-aturan pengadaan tanah yang lebih demokratis. Dan sedikit menutup ruang bagi aparat pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang. Satu hal yang harus diwaspadai dan memang sering terjadi di lapangan dimana istilah “demi kepentingan umum” dijadikan tameng oleh pihak pengusaha dan pemerintah untuk menggerogoti tanah-tanah milik rakyat. Disini rakyat harus jeli memaHak Asasi Manusiai maksud kepentingan umum sebagaimana yang telah ditentukan secara limitatif dalam Perpres No.65/2006.
Pemahaman Hak Asasi Manusia bukan hanya berada pada teori Hak Asasi Manusia, tetapi juga pada pemahaman pada konteks sosial yang sedang terjadi. Menjadi semacam tindakan kepedulian sosial yang seharusnya diperlihatkan oleh pemerintah pada realitas masyarakatnya perihal pemenuhan hak-hak dasarnya. Inilah pertimbangan utama dalam membangun aturan kepentingan umum. Baik pada sisi manusia maupun dimensi kepentingan umum yang dapat menjamin perkembangan individu manusia tersebut, maka tidak dapat melupakan pentingnya kepedulian sosial.
Dengan demikian, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan jalan pencabutan hak atas tanah dapat dikatakan mempunyai dua kemungkinan terhadap Hak Asasi Manusia, yakni adanya kemungkinan pelanggaran dan tidak adanya pelanggaran, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan proses pencabutan tersebut, apakah sesuai dengan peraturan yang berlaku yang berdasarkan sebuah peraturan yang pada konsepnya demi tercapainya penyelesaian yang baik antar kedua belah pihak, bukan untuk disalah gunakan. Atas dasar itulah batasan-batasan dari kepentingan umum seharusnya dibuat, misalnya dengan memasukkan ciri-ciri kepentingan umum seperti: benar program pembangunan dimiliki oleh pemerintah, dikelola oleh pemerintah, dan tidak untuk mencari keuntungan serta tidak bisa dikonversi dengan alasan apa pun juga selain untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

B. Korelasi Antara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dalam pasal 8 Deklarasi Universal (Baehr, Peter, dkk. 2001 : 56):
“Setiap orang mempunyai hak atas suatu ganti rugi yang efektif oleh Pengadilan Nasional yang berwenang untuk perbuatan-perbuatan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau Undang-Undang”.


Sebagaimana bunyi pasal 17 Deklarasi Universal
1. Setiap orang berhak mempunyai milik baik milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
2. Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.
Pasal 30 Deklarasi Universal :
“Tidak sesuatu pun didalam pernyataan ini boleh diartikan memberikan salah satu Negara, golongan,ataupun seseorang sesuatu hak untuk melakukan sesuatu kegiatan atau sesuatu perbuatan yang bertujuan untuk merusak salah satu hak dan kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini”.
Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres itu dinilai banyak kekurangan dan melanggar Hak Asasi Manusia. "Perpres itu berpotensi memicu masalah dan konflik seperti praktek yang diterapkan pada masa Orde Baru, Pasal 10 ayat 2 perpres ini menyebutkan, bila tidak ada kesepakatan dalam suatu musyawarah, pihak yang memerlukan lahan dapat menitipkan uang untuk ganti rugi ke pengadilan dan instansi tersebut dapat menggunakan lahan. "Pasal itu terkesan memberi legitimasi yuridis untuk munculnya tindakan pemaksaan oleh pemerintah melalui suatu perbuatan hukum yang disebut dengan konsinyasi. Ada dua ketentuan hukum yang bertentangan dalam Perpres, yaitu antara pasal 21 dan pasal 23. Pasal 21 menyebutkan, pelaksanaan Keppres No. 55/1993 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perpres No. 36/2005. "Tapi pasal 23 justru menyebutkan sebaliknya, yaitu pada saatnya berlaku Perpres No. 36/2005, maka Keppres No. 55/1993 dinyatakan tidak berlaku. Ini jelas tidak benar.
Banyak kelemahan Perpres dari perspektif Hak Asasi Manusia dan asas negara hukum, sekaligus merupakan kelemahan yang paling serius, yakni apabila musyawarah gagal, maka memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah seharusnya dilakukan secara musyawarah yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi, saling menerima pendapat serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi. Konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kemudian Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Konvenan Internasional Hak Sipil-Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, menjadi amanat bagi Negara untuk wajib menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) hak-hak asasi (hak paling dasar) rakyat Indonesia, yaitu akses kepada tanah, air, udara, pangan, lapangan kerja.Kenyataan adalah pemerintah Indonesia justru melanggar Hak Asasi Manusia rakyat Indonesia dengan hukum (by law) dan dengan kekerasan (by violent) yang itu bisa dilihat pelbagai produk hukum yang justru mengasingkan rakyat Indonesia dari akses kepada tanah, air, pangan dan lapangan kerja serta penggusuran dan tindak kekerasan negara terus berlangsung.
(http//www.prakarsa-rakyat.org/artikel_cetak.php?aid=4942, diakses pada 20 mei 2010)
Permasalahan Hukum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 ;
1. Formil Ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi yang diperintahkan Undang-undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah. Artinya, bahwa Peraturan Presiden sesungguhnya di buat sebagai sarana administrasi pemerintah, namun menunjuk (according) Undang-undang dan /atau Peraturan Pemerintah. Diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus segera dicabut oleh Presiden.
2. Materiil Perihal Pencabutan Hak Atas Tanah (pasal 2 ayat 1 b, pasal 18): Mengenai permasalahan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan serta perlindungan terhadap hak milik atas tanah, sebagaimana dinyatakan dalam :
a. UU No. 5 tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) : Pasal 6 Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Penjelasan pasal 6 Lihat penjelasan umum (II angka 4) tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya (pasal 2 ayat 3).
b. Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 36 1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. 2. Tidak seorang-pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
c. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 71 Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 bertentangan dengan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Asasi Manusia.
(Peraturan Presiden) No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang dapat dilaksanakan pemerintah dengan dua macam. (http//:www.solusihukum.com/kasus2.php?id=43.Diakses pada 20 mei 2010).
1. Mengatur pelepasan hak
2. Mengatur pencabutan hak.
Terhadap poin 2 mengenai pencabutan hak atas tanah, tidak diatur sebelumnya di Keppres No.55/1993. Dalam Perpres ini, Presiden mempunyai keleluasaan untuk mencabut hak atas tanah apabila tidak tercapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan panitia pengadaan tanah tersebut dalam jangka waktu 90 hari untuk menyelesaikan prosesnya. Dengan adanya pasal mengenai pencabutan hak tersebut dikhawatirkan akan menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk lebih represif dalam proses pembebasan tanah. Sehingga potensi adanya konflik agraria akan semakin terbuka.
Pengadaaan tanah pula dalam penerapannya memiliki dasar hukum :
1. Piagam afrika menyatakan bahwa hak atas pembangunan sebagai hak
2. Pasal 1 deklarasi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak atas pembangunan, menyatakan hak atas pembangunan sebagai Hak Asasi Manusia yang tidak bisa dicabut yang dengan dasar tersebut setiap orang dan semua rakyat mempunyai hak untuk berperan serta, menyubang dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik, yang didalamnya semua Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dapat diwujudkan secara utuh. Dalam hal ini pengadaan tanah memiliki kaitan erat dengan kepentingan umum, yang menjadi bagian dari hak atas pembangunan(Harsono Boedi. 1999: 78).
Penjelasan-penjelasan teresebut, terdapat kaitan antara pengadaan tanah dengan Hak Asasi Manusia, bahwa pengadaan tanah dengan dasar pada kepentingan umum memiliki hubungan dengan hak atas pembangunan yang menjadi suatu Hak Asasi Manusia. Namun, yang menjadi permasalahan dalam hal ini ialah sifat disosiatif antara kedua peraturan yakni pengadaan tanah dengan Hak Asasi Manusia. yaitu peraturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 tentang pembebasan dan pencabutan tanah yang memiliki unsur-unsur yang masih bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, hal itu dikarenakan dalam peraturan tersebut terkesan memberikan alternative antara pembebasan dan pencabutan hak atas tanah.

No comments:

Post a Comment