Sunday 8 September 2013

Monday 2 September 2013

Ketentuan Dasar Tugas Makalah PIH kls B

Ketentuan Umum :

- Kelompok terdiri dari 16 atau 17 mahasiswa
- Kelompok 1 dan 3 membahas Pengertian Ilmu Hukum dan/atau Jenis-jenis Ilmu Hukum
- Kelompok 2 dan 4 membahas Norma Hukum dan/atau Norma Sosial
- Makalah minimal 7 halaman, maksimal 15 halaman.
- Makalah diketik. (font 12pt  times new roman, justify, 1.5 spasi)
- Dilarang Copy Paste tidak sesuai ketentuan penulisan yang baik dan benar.
- Silahkan Mengutip dg Menggunakan body note atau foot note.
- Presentasi silahkan menggunakan Power point.

Contoh Sistematika Makalah Sederhana:

BAB I
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN (Menyesuaikan Rumusan Masalah)
A..................................
B..................................

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran/Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

Berikut ini referensi topik yang dapat dibahas terkait tema diatas:
- Hukum sebagai Ilmu Hukum
- Ilmu Hukum sebagai Ilmu Kenyataan
- Ragam Pengertian dalam Hukum
- Problematika rumusan Hukum antar ahli Hukum
- Hubungan Norma Hukum dengan Norma Sosial
- Norma Susila dan Moral
- Norma Hukum dalam Pergaulan Masyarakat
- Karakteristik Norma sosial.


Selamat Berkarya..
baca selengkapnya...

Monday 30 May 2011

Tugas Hukum Lingkungan

Analisis Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengenai Implikasi Negatif Terhadap Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional
Disusun Oleh :
Miqdad Azizta Pugara (E0009219)

Guna Memenuhi Tugas Kompetensi Dasar I Mata Kuliah Hukum Lingkungan yang diampu

Dr. I. Gusti Ayu Ketut Rackhmi H, S.H.,M.M.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pergantian adanya undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada dasarnya undang-undang ini memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara. Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment).Hal ini dilatarbelangkangi adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan perikehidupan masyarakat. Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam sebuah undang-undang nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai Hak Asasi Manusia melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Di salah satu pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan keluarnya undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar Manusia,dibawah bagian Hak untuk Hidup.Undang-undang nomor 32 Tahun 2009, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi . Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya. Namun, undang-undang nomor 32 tahun 2009 dituding sebagai penyebab anjloknya produksi minyak dan gas. Pangkal masalahnya sederhana, yakni berdasarkan undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), baku mutu temperatur air buangan pertambangan mesti diturunkan dari 45 derajat Celcius menjadi 40 derajat Celcius. Ketentuan undang-undang ini yang dipersoalkan oleh beberapa perusahaan tambang karena dianggap memberatkan perusahaan. Berdasarkan permsalahan tersebut, maka penulis memiliki keinginan untuk menyusun tulisan berupa makalah yang berjudul “Analisis Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengenai Implikasi Negatif Terhadap Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional.”

B. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :


1. Bagaimana Konsep Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Mengatasi Persoalan Lingkungan ?


2. Bagaimana Implikasi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Mengatasi Persoalan Lingkungan

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya ada pada Pasal 28H undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945, dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global. Undang-undang nomor 32 tahun 2009, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi . seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang dari penulisan ini. Pada penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tercantum bahwa :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati. Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. (dikutip dari penjelasan UU No. 32 Tahun 2009, www.menlh.go.id)


Penjelasan dari undang-undang nomor 32 tahun 2009 merupakan sebuah supremasi hukum terhadap persoalan lingkungan. Dimana peraturan tersebut merupakan suatu pedoman dalam melakukan suatu perbuatan hukum atas upaya untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Perbuatan hukum ialah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban (R. Soeroso, 2006 : 291). Dengan demikian jelaslah dalam penuntutan hak maupun pelaksaan kewajiban masing-masing pihak. Pihak pertama yang sangat berkepentingan dalam pelaksanaan undang-undang PPLH ini tentu saja kita sebagai rakyat Indonesia, yang mendambakan peningkatan kesejahteraan hidup tanpa membebani lingkungan hidup saat ini dan di masa yang akan datang. Pemerintah, pengusaha, negara asing, dan lembaga nirlaba beradu bidak catur dalam menentukan nasib kekayaan alam dan lingkungan Indonesia di masa yang akan datang. Pemerintah dalam kerangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi melihat eksploitasi sumber daya alam dan penggunaan tanah sebagai salah satu motor penting penggerak perekonomian.


Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) diberikan kewenangan yang sangat luas dalam UU PPLH yang baru ini. Namun demikian, KLH juga diberikan tanggung jawab besar untuk mengatur pelaksanaan ketigabelas instrumen dalam UU PPLH yang digunakan untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup melalui penyusunan Peraturan Pemerintah. Tugas ini tidak mudah, mengingat bahwa UU PPLH ini disusun atas inisiatif DPR periode yang lalu, bukan atas inisiatif KLH (pemerintah) sendiri, sehingga penafsiran pasal-pasalnya membutuhkan diskusi dengan berbagai pihak yang cukup memakan waktu. Kesulitan penuangan pasal-pasalnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) juga terbentur oleh tujuan besar pemerintah saat ini yang menginginkan terciptanya iklim investasi yang ramah, termasuk juga di dalamnya PP mengenai lingkungan yang ramah terhadap investasi. Selain itu beberapa anomali dalam UU tersebut akan mempersulit penyusunan PP yang diharapkan efektif terhadap para perusak lingkungan hidup. Sebagai contoh, dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU no. 32 Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan instrumen baru yang tidak terdapat dalam UU PLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009). Namun demikian, tidak seperti halnya analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UU PPLH ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya.


Reformasi yang ingin dibangun pada undang-undang nomor 32 tahun 2009 , sumber daya alam merupakan karunia dari Allah SWT harus dikelola dengan bijaksana, sebab sumber daya alam ini memiliki keterbatasan penggunaannya. Apabila sumber daya alam tidak dikelola dengan bijaksana, akan berdampak pada kepentingan manusia, baik dampak positif maipun dampak negatif (Supriadi, 2008 : 95). Adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Tidak diragukan lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya alam kita, baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya. Yang semua itu tidak memperhatikan lingkungan dan dianggap tidak penting lingkungan itu. Kedepan dengan terbitnya undang-undang nomor 32 tahun 2009, yang filosofinya begitu menghargai lingkungan, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak sewenang-wenang dalam memandang alam yang indah ini.


B. Implikasi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional

Hangat pembahasan mengenai Implikasi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Produksi Minyak dan Gas Nasional. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada April ini dikhawatirkan akan menimbulkan kriminalisasi terhadap kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS minyak dan gas bumi. Aturan itu juga bisa berdampak pada penurunan produksi migas nasional. Bahkan Kementerian ESDM meminta untuk segera menyelesaikan persoalan yang ada karena undang-undang PPLH ini, Penerapan standar baku mutu lingkungan pada industri migas dikhawatirkan akan membuat target produksi migas nasional tidak tercapai. “Kalau standar baku mutu betul-betul diterapkan per April 2010 seperti apa adanya, hampir separuh target produksi migas nasional tidak dapat diproduksikan karena banyak industri migas dalam waktu dekat tidak dapat memenuhi standar baku mutu temperatur air dari 45 derajat celcius menjadi 40 derajat celcius,” ujar Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, kata dia, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat. "Chevron dan Pertamina sebagai penyumbang produksi migas nasional terbesar yang paling merasakan dampak pemberlakuan standar baku mutu lingkungan tersebut," ujarnya. Kementerian ESDM, sambung Evita, sudah melaporkan hal tersebut kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup karena permasalahan ini harus diselesaikan segera agar tidak mengganggu produksi migas nasional yang berdampak pada penerimaan Negara. Dalam UU No.32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang memantik protes para pelaku usaha migas.(dikutip dari kabarbisnis.com)

Kehadiran aturan yang menggantikan undang-undang nomor 23 tahun 2007 tersebut diterbitkan karena lingkungan yang sehat dan bersih merupakan hak asasi manusia, untuk mengatasi turunnya daya dukung lingkungan (carrying capacity) serta meningkatkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Adanya instrument baru berupa izin lingkungan dalam undang-undang 32/2009 sebagai syarat mendapatkan izin usaha dalam kegiatan atau usaha yang potensial merusak lingkungan itu justru akan menjaga keseimbangan pembangunan di tengah cepatnya laju kerusakan lingkungan. Penerapan undang-undang 32/2009 yang sahkan oleh Presiden pada 3 Oktober 2009 itu akan menyulitkan para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) melakukan investasi pengeboran minyak. Bahkan, dengan berlakunya undang-undang tersebut, produksi minyak KKKS akan menurun. Undang-undang nomor 32 tahun 2009 akan berdampak terhadap produksi dan pencapaian target produksi 2010. Sebab, peraturan itu berpotensi meningkatkan pembiayaan yang lebih besar sehingga berdampak pada biaya produksi migas yang dibebankan ke negara (cost recovery).


Untuk menyesuaikan dengan aturan baru yang ada, kebutuhan investasi diperkirakan akan bertambah, yang pada akhirnya membebani cost recovery. Salah satu keberatan pengusaha terhadap undang-undang nomor 32 tahun 2009 tersebut adalah soal standar baku mutu lingkungan. Aturan ini menegaskan bahwa ambang batas temperatur air buangan pertambangan diturunkan dari 45 derajat Celcius menjadi 40 derajat Celcius. Padahal, untuk menurunkan panas itu perlu alat pendingin, sehingga butuh biaya investasi lebih besar. Masalahnya, jika tak mematuhi aturan tersebut, undang-undang nomor 32/2009 itu memberikan ancaman pidana. Persyaratan baku mutu dalam undang-undang tersebut tidak realistis dan penerapan baku mutu itu akan menjadikan KKKS tidak kompetitif. Pemerintah seharusnya lebih realistis lagi untuk menerapkan baku mutu. Bahkan, Pertamina meminta pemerintah memberikan jeda waktu transisi selama tiga tahun untuk pemberlakukan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Alasannya, untuk menjalankan UU tersebut, Petamina harus menyiapkan alat-alat dan teknologi baru yang dipakai di lapangan migas yang dikelolanya. “Kita butuh tiga tahun untuk memasang pipa baru dan injection terkait pelaksanaan UU tersebut,” kata Manager Humas Pertamina EP, M Harun, dalam acara press gathering di Jakarta, Kamis (11/3).(rakyatmerdeka.co.id)


Mengingat sektor migas masih menjadi salah satu andalan dalam penerimaan negara, maka keberatan dari Pertamina ini mengundang tanda tanya besar tentang : (a) putusnya keterkaitan antara peraturan dan perundangan, (b) sosialisasi perundangan yang telah diberlakukan, (c) karut marut industri minyak dan gas bumi nasional. Tidak adanya keterkaitan peraturan dan perundangan ini nampak dari tidak terpikirkannya ketentuan tentang kewajiban melalukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi para pelaku sektor pertambangan dan industri, seperti yang dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Kalau Pertamina menyatakan belum siap mengikuti aturan yang termuat dalam UU No.32 Tahun 2009, maka sebenarnya ketentuan baku mutu dan jaminan pemulihan lingkungan, sudah ada sejak 10 tahun yang lalu, yaitu sejak diberlakukannya AMDAL yang meliputi : Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Dokumen Rencana Michelangelo Lingkungan Hidup (RKL), Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).


Penentuan kriteria wajib AMDAL ini menggunakan/menerapkan penapisan satu langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list) yang dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006. Maka agak aneh sebenarnya, setelah sekian tahun berlalu, Pertamina belum siap juga dengan tututan baku mutu (pasal 20 UU No.32/2009) dan jaminan pemulihan lingkungan (pasal 54 UU No.32/2009). UU No. 32 tahun 2009 ini membawa konsekuensi besar yaitu : pencabutan izin usaha operasi (pasal 37), dan ancaman pidana bagi pelanggar (pasal 97). Apalagi UU ini juga dilengkapi dengan hak gugat Pemerintah (pasal 90), hak gugat masyarakat (pasal 91) dan hak gugat LSM (pasal 92) yang dikuatkan dengan sanksi pidana (bukan sekedar sanksi administrasi) (pasal 97), maka tidak ada jalan lain, Pertamina dan dunia industri yang lain, harus menganggarkan secara khusus pembuatan AMDAL. Bila Pertamina dan dunia industri yang lain hanya menjalankan AMDAL sesaat, seperti yang dilakukannya pada program CSR, maka publik akan mempertanyakan, dimana tanggung jawab lingkungan mereka dan kemana keuntungan mereka ini mengalir? Hal ini sangat berkaitan dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan akan persoalan lingkungan. Namun, pada dasarnya hal tersebut tidak lain adalah suatu penyimpangan yang telah dilakukan pihak-pihak yang bersangkutan. Penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.(James vander Zanden, 1979. dalam buku Pengantar Sosiologi, Kamanto Sunarto, 1998 : 74). Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa suatu penyimpangan sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap sekitarnya, dalam hal ini Lingkungan. Maka dari itu diperlukan suatu kesadaran terhadap lingkungan dan perhatian terhadap pelaksanaan peraturan yang baru. Membicarakan pelaksanaan peraturan akan bersinggungan akan kinerja hukum di Indonesia, kandungan moral adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya (Satjipto Rahardjo, 2009 : 87) Dengan demikian bila dijalankan dengan sunguh-sunguh, maka implementasi UU No.32 Tahun 2009 ini akan membantu fungsi Indonesia sebagai paru-paru dunia.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan


Berdasarkan latar belakang dan pembahasan mengenai Konsep Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Mengatasi Persoalan Lingkungan serta Implikasi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Produksi Minyak dan Gas bumi Nasional dapat disimpulkan bahwa :
Konsep undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang begitu menghargai lingkungan, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak sewenang-wenang dalam memandang alam. Tercermin pada penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tercantum bahwa : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Pada implikasi undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap produksi minyak dan gas bumi nasional masih belum ditemukan keseriusan bagi pemeran penting dalam penerapan undang-undang tersebut. Bahkan, banyak penjelasan bahwa dengan adanya undang-undang PPLH ini akan membuat produksi minyak dan gas bumi anjlok, dan adapula pertanyaan mengenai hal tersebut yakni ketidak sanggupan berbagai pihak dalam penerapannya. dimana tanggung jawab lingkungan mereka dan kemana keuntungan mereka ini mengalir? Bila dijalankan dengan sunguh-sunguh, maka implementasi UU No.32 Tahun 2009 ini akan membantu fungsi Indonesia sebagai paru-paru dunia.


B. Saran


Mengenai pembahasan dan kesimpulan yang telah kaji, penulis berharap dalam membuat dan melaksanakan peraturan yang telah disepakati hendaknya menghilangkan segala aspek keegoisan untuk mengabdi pada tanah air dan udara Indonesia. Tanggung jawab akan alam ini sangatlah penting, jagalah dengan sungguh-sungguh. Maka, implementasi dari peraturan apapun yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi akan efektif untuk menuntaskan permasalahan yang ada, khususnya mengenai persoalan lingkungan.
baca selengkapnya...