Thursday 10 June 2010

Makalah Etika & Tanggung jawab Profesi (7 Juni 2010)

Memaknai Etika Profesi Hukum Sebagai Penanggulangan Makelar Kasus
oleh :
Miqdad Azizta Pugara (E0009219)

Penanggulangan Terhadap Makelar Kasus Yang Telah Merusak Citra Profesi Hukum

Berbicara mengenai makelar kasus, atau akrab dengan sebutan “Markus” yang telah mejadi fenomena tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Makelar kasus sudah ada bukan belakangan ini saja, tetapi sudah ada sejak lama. Dari pengertian kata makelar sendiri berarti merupakan perantara antara penjual dan pembeli. Makelar yang sudah mengenal baik si penjual dan si pembeli, maka keberhasilan akan terjadinya sebuah transaksi akan semakin besar. Dengan pengertian makelar diatas, maka untuk pengertian makelar kasus, atau markus dapat diartikan sebagi seorang perantara yang mengenal penjahat sekaligus memiliki hubungan dengan penegak keadilan (Polisi, KPK, Jaksa), dan biasanya Makelar Kasus memberikan informasi yang dia ketahui tentang penjahat, dan kemudian Makelar Kasus akan menyampaikan informasi tersebut kepada para penegak hukum. Memang tidak ada yang salah pekerjaan sebagai Markus asalkan kegiatan itu dilakukan dengan menempatkan etika dan kaidah hukum dalam prakteknya, namun untuk makelar kasus yang sering disebut-sebut di media massa adalah makelar yang tidak lagi menempatkan etika dan kaidah hukum, bahkan berupaya merekasaya sebuah perkara hukum untuk mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Pekerjaan seperti itu terus menurus dilakoni, karena pekerjaan sebagai makelar kasus adalah pekerjaan yang ringan dengan penghasilan yang besar, sehingga pekerjaan ini memiliki daya tarik yang sangat tinggi. Sesuai dengan Social Exchange Theory, menurut Thibault dan Kelley "Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya". Ganjaran (Reward), biaya (cost), laba (outcomes), dan tingkat perbandingan (level of comparison) merupakan empat konsep pokok dalam teori ini Dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang tentunya didasarkan pada reward yang akan didapatkan dari hubungan interpersonal yang dilakukan.(Heppi Nurfianto, Detikcom)
Praktik jaringan makelar kasus bekerja secara sistematis dan terorganisasi. Praktik ini melibatkan oknum-oknum yang tidak benar diinstitusi penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan. Untuk menghubungkan semua link lembaga penegak hukum ini, biasanya pihak di luar institusi dilibatkan.(http://nasional.kompas.com/read/2010/04/15/10374836/1001.Modus.Makelar.Kasus..2.) Modus yang digunakan dalam praktiknya antara lain mengadakan Lobi di Pengadilan, Memilih Majelis Hakim, Pemerasan dan Suap, serta Cash and Carry. Berbagai indikasi inilah yang telah merendahkan profesi hukum dalam penegakan hukum, dengan mudah dan praktis makelar-makelarpun membuat proses penegakan hukum dikendalikan demi kepentingan yang menguntungkan bagi pihak-pihak dalam kasus tertentu.
Bila dikaitkan dengan hakekat seorang penegak hukum, yakni polisi, advokat, jaksa, hakim dalam menanggapi fenomena makelar kasus tidakkah miris ketika dalam praktiknya melibatkan oknum-oknum penegak hukum. Hal ini menjadi pertanyaan bagi kekondusifan kehidupan hukum di Indonesia, dimana Negara Indonesia merupakan Negara yang memang menganut Negara Hukum yang tercantum pada dasar neraga Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Tidakkah hal ini menjadi sebuah pernyataan bahwa Negara Indonesia sangat menghormati Hukum yang berlaku, untuk itu penegak hukum di Indonesia sangat mementukan peroses keksistensian hukum.
Penegak hukumpun dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin. Sebenarnya dalam peroses penegakkan hukum, telah diatur dalam aturan-aturan yang barlaku serta penegak hukumpun memiliki etika untuk menyikapi berbagai kasus yang dihadapi. Bebicara mengenai etika profesi, perlu dipahami pentingnya arti dari etika profesi tersebut. Etika profesi dalam buku Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007 : 92) menjelaskan :
Etika Profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Kepatuhan pada etika profesi bergantung kepada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan karena awam tidak dapat menilai. Karenanya, kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman objektif yang lebih konkret bagi prilaku profesionalnya yang kemudian diwujudkan dalam seperangkat kaidah prilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi yang disebut Kode Etik Profesi (disingkat Kode Etik) berupa tertulis ataupun tidak tertulis. Pada dasarnya, di satu pihak kode etik termasuk kelompok kaidah moral positif yang bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan dilain pihak bertujuan untuk melindungi pasien atau klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan/atau otoritas.

Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri. Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Profesi hukum sendiri sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesia, dikenal beberapa subjek hukum berpredikat profesi hukum yaitu (C.S.T. Kansil, 1997: 7) :
1. Hakim
2. Penasihat Hukum ( Advokat, Pengacara )
3. Notaris
4. Polisi
Yang masing-masing dilengkapi dengan etika profesi hukum, agar dapat melaksanakan fungsi dan kegiatannya dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh penjelasan, mengenai Advokat di dalam Bab II Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia Tentang Kepribadian Advokat, disebutkan:
Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya adalah “kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap Advokat”. Selanjutnya Dari ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dapat disimpulkan bahwa seorang advokat, dalam menjalankan profesinya, harus selalu berpedoman kepada:
1. Kejujuran profesional (professional honesty) sebagaimana terungkap dalam Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dalam kata-kata “Oleh karena tidak sesuai dengan keahilannya”, dan
2. Suara hati nurani (dictate of conscience).
Keharusan bagi setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil dengan berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat Indonesia tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he who pays the piper calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah pelacuran profesi advokat.(Fred B.G, Tumbuan, 2004 : 39)
Begitu pula profesi-profesi hukum lainnya, seperti Polisi yang memiliki kode etik untuk menjalankan tugasnya dengan baik, dijelaskan dalam Pembukaan Kode Etik Profesi Kepolisisan Negara Republik Indonesia berdasarkan Keputusan KAPOLRI NO.POL : KEP / 32 / VII / 2003, 1 Juli 2003 yang menyatakan :
Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat.
Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.
Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan keNegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia.

Pada bagian Penutup dari Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia-pun menjelaskan bahwa merupakan kehormatan yang tertinggi bagi setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghayati, menaati dan mengamalkan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya maupun dalam kehidupan sehari-hari demi pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan Negara.
Dengan demikian, pada hakikatnya setiap profesi hukum mempunyai fungsi dan peranan tersendiri dalam rangka mewujudkan Pengayoman hukum berdasarkan Pancasila dalam masyarakat, yang harus diterapkan sesuai dengan mekanisme hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam Negara hukum).
Setiap profesi hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus senantiasa menyadari, bahwa dalam proses pemberian Pengayoman hukum, mereka harus saling isi-mengisi demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran yang sesuai dengan jiwa Negara kita yang bersifat integralistik dan kekeluargaan. Setiap profesi hukum harus mampu membina dan mengembangkan cara kerja profesional yang sebaik-baiknya berdasarkan ethika profesi yang luhur. Kemudian organisasi profesi yang bersangkutan harus mengawasi secara berkala (internal controle) karya anggota-anggotanya, apakah mereka dalam menjalankan profesinya selalu memegang teguh pada “high ethical/professional standards” yang berlaku. Hal ini lebih-lebih berlaku bagi profesi hukum yang bersifat merdeka/mandiri seperti Hakim dan jabatan-bebas (“vrije beroepen”) lainnya seperti notaris, pengacara, dokter dan guru besar ilmu hukum. Bagi profesi-profesi yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri dan tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar, maka kemandirian/kebebasan dalam tugasnya haruslah selalu diimbangi dengan rasa tanggung jawab yang lebih besar pula, karena ia sendirilah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas karyanya kepada hati nurani dan keyakinan hukumnya sendiri, kepada masyarakat dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa Mengetahui. Jadi kebebasan yang bertanggung jawab sesuai dengan sumpah jabatannya.( Purwoto S. Gandasubrata, 1998 : 33)
Untuk menanggapi fenomena Makelar Kasus, dapat dikatakan pentingnya pemahaman yang mendalam mengenai kode etik yang memilki tujuan agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga professional. Mengenai Makelar Kasus yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan masyarakat sebenarnya tidak akan terjadi bila oknum-oknum penegak hukum mampu memahami arti pentingnya mematuhi kode etik, yang secara keseluruhan memiliki manfaat dan tujuan yang sama, yakni menjaga martabat profesi yang bersangkutan, dan dilain pihak bertujuan untuk melindungi pasien atau klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan/atau otoritas.
baca selengkapnya...

Wednesday 9 June 2010

LKTI Se-Jawa FILM SIM BEM UNS 2010

Alhamdulillah mampu menjadi 15 Karya Terbaik dalam Perlombaan Tersebut..
28 mei 2010

ANALISIS EFEK DOMINO MODEL PENGEMBANGAN KEARIFAN LOKAL DALAM KEMASAN SOLO BATIK CARNIVAL ( TELAAH PENINGKATAN KREATIVITAS MASYARAKAT SURAKARTA MENYONGSONG PERSAINGAAN GLOBAL )
Disusun Oleh :
Miqdad Azizta Pugara (E0009219)
Winjani Prita Dewi (E0009360)
Intan Permata Putri (E0009168)

PEMBAHASAN

A. Solo Batik Carnival sebagai Sebuah Model Pengembangan Kearifan Lokal yang Berefek Domino
Sesuatu dapat dikatakan model, haruslah sesuai dengan ketentuan model tersebut, dalam hal ini Solo Batik Carnival merupakan suatu kegiatan yang dicanangkan oleh pemeritah kota Surakarta. Dalam pelaksanaannya telah menciptakan suatu komunitas yakni Solo Batik Carnival Community. Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis (http://id.wikipedia.org/wiki/model). Dalam penulisan ini Solo Batik Carnival dapat di kategorikan sebagai model citra yang secara konseptual, dalam suatu model harus bersifat sistematis, ilmiah, dan memiliki karakter yang kuat sehingga Solo Batik Carnival dapat menjadi acuan dalam pengembangan kearifan lokal.
Dikatakan sistematis adalah segala usaha untuk menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya yang memberikan konsep yang terstruktur dan saling berkaitan (http://id.wikipedia.org/wiki/sistem). Ilmiah merupakan pengetahuan yang terorganisasi, ilmiah dapat diartikan sebagai sesuatu memiliki unsur kebenaran, atau secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga dalam prakteknya sebuah karya dapat dikatakan ilmiah seandainya karya tersebut merujuk pada sumber sumber atau kejadian yang valid (http://tigornomics.blog.friendster.com/2008/02/itu-tidak-ilmiah/). Sedangkan adanya karakter yang kuat karena berkaitan dengan apa yang disebut budaya.
Kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan panca indranya (penglihatan, penghidung, pengecap, perasa, dan pendengar). (Koentjaraningrat,1998)
Solo Batik Carnival sesuai dengan penjelasan mengenai ketentuan model tersebut yakni dikatakan sistematis karena dalam penyelenggaraannya yang dimulai dari latar belakang diadakan kegiatan tersebut hingga menciptakan suatu komunitas berupa Solo Batik Carnival Community hal ini memberikan penjelasan bahwa Solo Batik Carnival secara sistematis memiliki pihak-pihak yang berkecimpung atau berpengaruh didalamnya yakni pemerintah Kota Surakarta selaku penanggung jawab serta fasilitator, Solo Batik Carnival Community sebagai pelaksana dari kegiatan tersebut. Didalam Solo Batik Carnival Community yang beranggotakan lebih dari dua ratus orang juga memiliki susunan kepengurusan yakni:
1. Penasehat : Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Surakarta
2. Direktur artistik : Bambang Suryono
3. Koordinator umum : Heru Prasetyo
4. Sekretaris : Reyhan Tanjung
5. Koordinator Workshop : Quintanova Rizki
6. Koordinator Musik : Priyo
(Proposal Solo Batik Carnival 3 Surakarta 23 Juni 2010 yang diperoleh dari Sekretariat SBC Community)
Dalam wawancara kami dengan pihak dinas pariwisata Kota Surakarta, menjelaskan bahwa awal terbentuknya Solo Batik Carnival sebenarnya terinspirasi dari Jember Fasion Festival, ide tersebut berasal dari konseptor Jember Fashion Festival melirik kebudayaan Surakarta yang memiliki corak yang lebih beragam dan kreatif. Rencana tersebut didukung oleh dosen dari Institut Seni Indonesia yang kemudian disetujui oleh pemerintah Kota Surakarta untuk mempromosikan kota Surakarta dan mengembangkan industri kecil khususnya batik dikota Surakarta. Solo Batik Carnival pada akhirnya menjadi event tahunan dari dinas pariwisata Kota Surakarta yang bisa mengantarkan nama kota Surakarta dikancah Internasional. Koreksi dan pembaharuan terus digulirkan hingga Solo Batik Carnival mengalami peningkatan yang signifikan meskipun Solo Batik Carnival sendiri baru memasuki tahun ketiga. Solo Batik Carnival yang pertama mengangkat tema wayang , sedangkan tahun kedua Solo Batik Carnival mengambil tema topeng, di tahun kedua ini Solo Batik Carnival berhasil memperkenalkan Kota Surakarta di kancah internasional. Dalam pelaksanaan tahun kedua telah banyak perombakan dan perbaikan misalnya penyesuaian pakem batik dalam penggunaannya sebagai atasan maupun penggunaan musik pengiring serta tari-tarian yang digunakan. Solo Batik Carnival tahun ketiga yang akan dilaksanakan pada 23 Juni 2010 mengambil tema sekar jagad, pengambilan tema ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kecintaan kita akan lingkungan hidup yang sangat kaya akan sumber alam yang beragam. Konsep acara dan seleksi dipikirkan secara matang bahkan panitia dan peserta dari Solo Batik Carnival tersebut telah diberi pelatihan dan workshop sejak bulan April. Dalam pelatihan-pelatihan tersebut para peserta dan panitia diberi ketrampilan make up, pembuatan kostum dan koreografi serta peserta yang akan dikirim keluar negeri diberi pelatihan lebih lanjut mengenai koreografi yang disesuaikan dengan kebudayaan Negara yang akan dikunjungi agar lebih bervariasi. Perhatian dan dukungan pemerintah kota terhadap keberadaan Solo Batik Carnival membuat event ini berkembang pesat. Pemerintah kota menyediakan perizinan untuk tempat dan sarana prasarana lain serta mencarikan sponsor, Sedangkan penyumbang dana utama dari acara ini adalah Solo Center Point. Selain Solo Batik Carnival sendiri pemerintah kota sendiri mengadakan Solo Batik Fashion yang untuk mengembangkan industri kecil batik Surakarta. (Hasil Wawancara dengan ibu Wahyu Kristina bidang Promosi Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Surakarta (12/5))
Dengan demikian berdasarkan data-data yang telah disebutkan kegiatan Solo Batik Carnival merupakan kegiatan yang bersifat sistematis. kemudian dari sudut pandang ilmiah Solo Batik Carnival merupakan kegiatan yang menghargai pentingnya ilmu pengetahuan dengan melibatkan kearifan lokal sehingga menciptakan kreatifitas dari suatu seni budaya yang dimiliki masyarakat Surakarta. Selain itu, pemerintah kota dan masyarakat Surakarta bisa menanggapi kegiatan tersebut secara positif, dengan mengandalkan pola pikir dan pengetahuan yang dimiliki, guna mencapai apa yang diinginkan hal ini menjadi sebuah tujuan dari Solo Batik Carnival, seperti tujuan dalam proposal Solo Batik Carnival ketiga yakni :
1. Merespon tahun kreatif dalam langkah nyata bahwa Solo Batik Carnival mampu menjadi Instrument Cultural Marketing Kota Surakarta di tingkat nasional maupun internasional.
2. Meningkatkan citra Kota Surakarta sebagai kota budaya dan peduli pada pelestarian heritage tingkat nasional maupun internasional.
Tujuan tersebut menjelaskan bahwa Solo Batik Carnival mempunyai arah yang jelas sesuai dengan prinsip keilmiahan. Sedangkan mengenai karakter yang dimiliki oleh Solo Batik Carnival yang tidak luput dari peran suatu kebudayaan yang memiliki makna mendasar dalam menghargai kearifan lokal yang menjiwai suatu karakter yang khas dari Kota Surakarta. Kebudayaan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik serta dapat mendorong kuatnya suatu karakter yang dimiliki.

B. Efek Domino Solo Batik Carnival Mampu Menggerakkan Kreativitas Masyarakat Surakarta dalam Menyongsong Persaingan Global
Solo Batik Carnival telah menjadi sebuah ikon Kota Surakarta yang telah berhasil menjadikan batik menjadi suatu identitas, hal ini tidak luput dari upaya-upaya pemerintah Kota Surakarta itu sendiri. Pemerintah Kota Surakarta telah memberikan kesempatan terhadap pihak-pihak yang mempunyai suatu keinginan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki kebudayaan masyarakat Surakarta. Secara tidak langsung, Pemerintah Kota Surakarta dengan diadakannya Solo Batik Carnival berhasil mempromosikan kota Surakarta hingga ke taraf internasional, serta mampu meningkatkan kreativitas masyarakat Surakarta.
Berdasarkan profil yang kami peroleh dari Solo Batik Carnival Community. Solo Batik Carnival adalah sebuah karnaval berbasis masyarakat yang lintas etnik, usia dan profesi dan batik sebagai tema utamanya. Batik merupakan suatu kreativitas yang tak pernah selesai yang memiliki latar belakang sejarah panjang di Indonesia, baik filosofi, desain motif, kreator dan masyarakat pendukungnya. Selain itu Solo Batik Carnival merupakan tafsir baru masyarakat Surakarta dalam menyikapi batik sebagai kerja kreatif masyarakat Surakarta (cipta, mandiri, dan kreatif dengan batik merupakan spirit Solo Batik Carnival). Pada tahun ini Solo Batik Carnival akan diselenggarakan pada 23 Juni 2010, dengan mengangkat tema sekar jagad yang terinspirasi dari lingkungan hidup dan sekaligus memberikan pembelajaran akan kepedulian terhadap alam dan menciptakan sebuah karnaval yang ramah lingkungan, dengan begitu pemanfaatan kearifan lokal mampu berdampak positif di berbagai aspek. Solo Batik Carnival telah menciptakan sebuah komunitas yakni Solo Batik Carnival Community yang telah berhasil mengusung Solo Batik Carnival ketingkat nasional maupun internasional, antara lain : Pembukaan Pekan Olah Raga Provinsi Jawa Tengah ( 2009-Solo ), Festival Enchanting Indonesia ( 2009-Singapura ), Pawai Budaya Nusantara ( 2009-Jakarta ), Jogja Java Carnival di Jogjakarta ( 2009-Jogjakarta ), Pawai Budaya Jawa Tengah ( 2009-Semarang ), Pawai Solo Membatik Dunia ( 2009-Solo ), New Year Celebration ( 2009-Bali ), Asia’s Grandest Street And Floats Parade (Chingay Parade Singapore-2010), Natas Travel Fair ( Singapura-2010 ), Pasar Malam Indonesia, Den Haag ( Belanda-2010 ), Asli Indonesia ( Semarang April 2010 ), Kirab Budaya Pekalongan ( April 2010 ). Kesuksesan Solo Batik Carnival dapat dikatakan karena semangat yang dimiliki masyarakat dan pemerintah kota Surakarta yang mampu memanfaatkan suatu kearifan lokal yang dimiliki kota Surakarta. Bila mengamati apa yang telah dilakukan pemerintah kota Surakarta yang mengadakan kegiatan Solo Batik Carnival sehingga masyarakat mampu menerima dengan antusias, untuk itu dapat kita lihat dari aspek sosiologis serta historis yang mempengaruhinya.
1. Aspek Sosiologis
Kehidupan kebudayaan dalam masyarakat Surakarta masih sangat melekat dalam diri pribadi setiap warga asli Surakarta yang memegang teguh tata karma baik dalam tutur kata maupun tingkah laku yang menjiwai kehidupan bermasyarakat karena warga asli Surakarta pada umumnya adalah etnis jawa yang memiliki kebiasaan – kebiasaan yang berbeda dari etnis lain di Indonesia.
Dr. P. Y. Bowman menyatakan, kelompok atau golongan pada umumnya adalah kesatuan-kesatuan sosial yang dikuasai oleh perasaan persatuan. Perasaan persatuan ini mungkin sifatnya; dalam, tetapi mungkin juga dangkal. Suatu kelompok atau golongan dengan ikatan / perasaan persatuan yang dalam misalnya; masyarakat paguyuban masyarakat dengan ikatan darah dan lain-lain. Sedangkan masyarakat dengan ikatan dengan persatuan yang dangkal, misalnya; hanya bertujuan praktis / organisatoris saja, atau ikatan yang secara kebetulan saja terjadi. (MG. Sri Wiyarti dan Sutapa Mulya Widada, 2007)
Etnis jawa atau yang sering dikenal dengan sebutan wong jawa biasanya memiliki kebiasaan yang cenderung mengutamakan kesopanan sehingga mereka dikenal sebagai pribadi yang tepa slira, lemah lembut, sopan, dan tidak arogan dalam hidup bermasyarakat. Wong jawa selalu mengedepankan kualitas berkomunikasi dalam kehidupan karena mereka masih sangat kental akan paham grapyak semanak. Selain itu pepatah yang masih dianut oleh masyarakat Jawa kebanyakan adalah mangan ora mangan sing penting kumpul, sehingga kepribadian orang Jawa lebih cenderung mementingkan kebersamaan dengan komunitas yang memiliki akar budaya yang sama.
Ajaran wulang reh yang diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro IV dari Surakarta antara lain mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations) (Soerjono Soekanto, 2002).
Masyarakat Jawa juga memiliki sifat terbuka dengan kebudayaan dari luar, mereka bisa menerima dan beradaptasi dengan kebudayaan pendatang. Dengan kejelian pemerintah kota dalam memanfaatkan karakter dari masyarakat tersebut kearah hal yang positif dengan menggabungkan budaya yang berasal dari luar dengan kebudayaan lokal yang bisa diangkat untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat tersebut, seperti budaya carnaval, budaya tersebut berasal dari Eropa kemudian disisipi kebudayaan yang memiliki kearifan lokal dan dikemas dengan menarik hingga menjadi suatu pertunjukkan yang mempunyai efek domino bagi peningkatan pariwisata, perdagangan, seni dan sektor riil dalam masyarakat.
Selain itu, Solo Batik Carnival merupakan cara yang atraktif, inovatif, dan kreatif, keterlibatan budaya lokal yang masih mengakar dengan kuat membuat masyarakat di Kota Surakarta sangat menggemari pertunjukkan. Sebab secara historis seni pertunjukkan yang mengangkat unsur-unsur lokal seperti ini sering diadakan dan memberikan efek kebersamaan yang hangat dari masyarakat itu sendiri, misalnya grebeg syawal, grebeg maulud dan lain-lain.
Kornblum menyatakan “ the recurring patterns of behavior that create relationships among individuals and groups within a society “. Bahwa pola prilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antara kelompok dalam masyarakat. (Kamanto Sunarto, 1998)
Budaya merupakan suatu sarana komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat, dimana memiliki rasa senasib sepenanggungan dan memiliki satu pandangan hidup yang sama serta memiliki satu kebiasaan yang sama dalam hal ini antusiasme masyarakat Surakarta saat menanggapi suatu program pemerintah dalam melestarikan kebudayaan Surakarta.
Solo Batik Carnival dapat dikatakan sebagai program pemerintah yang mengikuti jejak Jember Fashion Festival yang telah lebih dahulu ada. Namun dalam kenyataannya Solo Batik Carnival yang memiliki antusiasme masyarakat dengan adanya ciri khas kearifan lokal dalam event karnaval ini merupakan salah satu faktor pendukung kesuksesan terlaksananya Solo Batik Carnival disamping kematangan rencana dan mekanisme pelaksanaan oleh pemerintah kota Surakarta bersama dengan pelaksana lain yang ikut membantu menyukseskan program branding kota ini.
2. Aspek Historis
Sejarah perkembangan batik di Surakarta merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam mempelajari latar belakang yang mendasari Solo Batik Carnival dilaksanakan, dalam hal ini perkembangan batik sangatlah perlu dikaji.
Menurut dugaan dari beberapa ahli sejarah, batik yang berasal dari Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, semula berasal dari India. Batik pada awal mulanya di bawa oleh para pedagang India yang kala itu sedang melakukan perdagangan dengan pedagang-pedagang pribumi di pulau Jawa. Dari proses tukar menukar barang dagangan itu, selanjutnya melahirkan informasi pemahaman tentang batik. Lambat laun orang-orang Jawa mulai mengenal batik yang kemudian memodifikasinya, dan mengembangkan dengan menggunakan bahan baku dan bahan penunjang lainnya, sehingga berubah bentuk menjadi kain pakaian yang memiliki ciri-ciri Indonesia. (Dofa Anesia Aryunda, 1996)
Pendapat lain tentang asal mula batik di Indonesia, yaitu dari Prof. RM. Sutjipto Wirjosaputro yang menyatakan bahwa asal mula 46 kebudayaan batik di Indonesia sebelum bertemu dengan kebudayaan India, bangsa Indonesia telah lama mengenal aturan-aturan untuk menyusun syair, mengenal industri logam, teknik untuk membuat kain batik dan sebagainya, dan yang mengembangkan kesenian India di Indonesia adalah bangsa Indonesia. (Susanto SK Sewan, 1975)
Kota Surakarta terletak pada titik yang strategis dari jalur utama perdagangan di Jawa Tengah. Surakarta berada pada 110 45` 15”-110 45` 35” Bujur Timur dan 70` 36-70` 56” Lintang Selatan merupakan pertemuan lintas kota besar Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya yang tentunya memiliki kekuatan dagang karena berada dekat pantai. Surakarta merupakan sebuah kota yang tidak terlalu luas tetapi mampu memiliki kekuatan besar dalam hal perdagangan karena Surakarta menyerap kekuatan dagang dari tiga kota yang melingkupinya tersebut sekaligus didukung oleh kota-kota kecil lain di sekitar Surakarta yang disebut Subosukowonosraten ( Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Klaten ) dan dilatarbelakangi oleh sejarah perdangangan pada saat Sarekat Dagang Islam didirikan, yang di latar belakangi oleh:
a. Kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik, terutama terhadap golongan Cina.
b. Sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).
c. Adanya tekanan oleh masyarakat Indonesia di Surakarta (dari kalangan bangsawan mereka sendiri).
(http://www.swaramuslim.net/galery/sejarah/index.php?page=SPUI-1)
Dengan adanya Revolusi Nasional Cina yang dipelopori oleh dr. Sun Yat Sen pada tanggal 10 Oktober 1911 telah berpengaruh terhadap orang-orang Cina perantauan di Indonesia. Mereka segera mendirikan ikatan-ikatan yang bercorak nasionalis Cina. Kedudukan mereka dibidang ekonomi sangat kuat. Mereka menguasai penjualan bahan-bahan batik. Para pedagang batik pribumi merasa terdesak atau dirugikan. Untuk menghadapi para pedagang Cina itu, pada tahun 1911 para pedagang batik Surakarta dibawah pimpinan H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan berdirinya Sarekat Dagang Islam adalah :
a. Memajukan perdagangan.
b. Melawan monopoli pedagang tionghoa, dan
c. Memajukan agama Islam.
(http://media.diknas.go.id/media/document/5161.pdf)
Atas dasar itulah masyarakat pribumi sebagai pedagang batik memiliki semangat juang untuk menghadapi kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik. Solo Batik Carnival ternyata mampu menggerakkan kreativitas masyarakat Surakarta dalam menyongsong persaingan global yang pada dasarnya didasari oleh aspek-aspek yang mempengaruhinya baik secara sosiologis maupun historis dalam kehidupan masyarakat Surakarta.
Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dengan diadakannya kegiatan tahunan dalam bentuk Solo Batik Carnival sebagai upaya mempromosikan Kota Surakarta dengan mengembangkan dan memanfaatkan kearifan lokal, ternyata dapat memberikan dampak positif diberbagai bidang. Dapat dilihat bahwa Solo Batik Carnival dengan tujuan sebagai prestis global dengan memanfaatkan kearifan lokal, ternyata mampu memberikan efek domino bagi kehidupan masyarakat Surakarta, seperti berpengaruh pada peningkatan kondisi perdagangan yang kemudian mendorong sektor riil, sehingga memacu berbagai seni kreativitas yang memberikan daya tarik dengan kuatnya karakter dalam suatu kebudayaan sehingga mempengaruhi peningkatan Pariwisata di Kota Surakata.
baca selengkapnya...

Paper HAN kls F

Nama : Miqdad Azizta Pugara
NIM : E0009219
3 juni 2010

KEBIJAKAN MENGENAI
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


Menarik ketika membicarakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan 81.000 Km garis pantai, dimana sekitar 70 % wilayah teritorialnya berupa laut. Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta Km2 (berdasarkan konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan non hayati yang melimpah (Simanungkalit dalam Resosudarmo, dkk.,2002). Hal ini menyebabkan sebahagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah sekitar wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Pemerintah dengan upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 yang merupakan produk hukum pertama yang khusus mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam undang-undang tersebut didefinisikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pula kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan managemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 digunakan dengan tujuan memberikan arahan bagi pemerintah daerah bagi pengalokasian dan penggunaan sumberdaya, sehingga perlu adanya suatu kerangka kerja dan kebijakan resmi serta prosedurnya. Naskah lengkap undang-undang tersebut dapat diunduh pada web-http//www.setneg.go.id/index.
Namun pada hakikatnya dalam penerapan suatu kebijakan baru, memang akan selalu terjadi pertentangan. Apalagi bila diasumsikan merugikan rakyat, dalam hal ini Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 telah banyak menarik respon bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan yakni nelayan sebagai warga pesisir yang merasa terusik dengan diberlakukan undang-undang tersebut. Pada posisinya, pemerintah berargumentasi untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha; dengan harapan dapat mendatangkan pendapatan bagi negara dari kegiatan yang berlangsung di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Sedangkan kelompok masyarakat sipil memandang bahwa pelajaran buruk sekaligus berharga dari kebijakan pengelolaan sektor keruk seperti hutan dan tambang, tidak boleh terulang kembali dalam pengelolaan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil Indonesia. Dikeluarkannya UU PWP-PPK yang didahului dengan Undang-undang Penanaman Modal (UU PM) seolah menjadi paket ;jual murah; perairan pesisir kepada pemodal, termasuk asing. Tentu kekhawatiran publik adalah wajar, jika Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang dipromosikan dalam UU PWP-PPK dapat dicermati secara seksama. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16), dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali (Pasal 19).
Dengan demikian undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi merugikan Nelayan. Berikut kutipan mengenai hal tersebut yang dikutip dari Berita Lingkungan oleh Marwan Aziz, 2010 (http://www.beritalingkungan.com).
Abdul Halim, Koordinator Program KIARA dalam siaran persnya diterima Beritalingkungan.com mengungkapkan, sejak diajukan pada tanggal 13 Januari lalu, permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP3K oleh nelayan tradisional, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta Tim Advokasi Tolak HP3 akhirnya diterima oleh Mahkamah Konstitusi, Kamis (04/03) Penerimaan permohonan ini disampaikan oleh Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum (Hakim Ketua), Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum (Anggota), dan Hamdan Zoelva, S.H., M.H. "Diterimanya permohonan gugatan ini menandakan bahwa ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU tersebut dalam kebijakan daerah,"ujarnya. Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral."Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan berbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dipahami bahwa dalam peraturan tersebut menandakan bahwa ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen Undang-undang tersebut dalam kebijakan daerah, serta adanya potensi bahaya dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Secara substantif UU No 27 Tahun 2007 mengandung tiga orientasi kepentingan dalam memaknai pengelolaan wila¬yah pesisir yakni (1) industrialisasi/¬privatisasi yang ditandai ha¬dir¬nya HP-3, dan aturan ak¬reditasi; (2) konservasionis de¬ngan munculnya terminologi eko¬sistem, bio-ekoregion, ka¬wasan konservasi, hingga rehabilitasi; (3) “Rakyat” dengan pe¬ngakuan masyarakat adat, istilah masyarakat lokal, ma¬sya¬rakat tradisional, hingga ke¬arifan lokal. Akan tetapi, berbagai istilah tersebut diatas juga masih mengandung “kontroversi”, terutama permasalahan tentang hak masyarakat adat akankah masyarakat adat yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan HP-3nya, dan siapa yang akan menjamin bahwa tidak terjadinya transferability ke pemilik modal sehingga UU No.27 tahun 2007 ini benar-benar dapat menjadi payung hukum bagi Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil.
Bila dikaitkan dengan kondisi nelayan di Indonesia, Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan. Kemiskinan, rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta kurangnya informasi sebagai akibat keterisolasian pulau-pulau kecil merupakan karakteristik dari masyarakat pulau-pulau kecil (Sulistyowati, 2003). Hasil pembangunan selama ini belum dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terpencil. Masyarakat diletakkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan, dengan demikian dibutuhkan perhatian dan keinginan yang tinggi untuk memajukan kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai pengelola sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat berlangsung secara lestari (Sulistyowati, 2003).
Dengan demikian, bukankah sangat miris bila ternyata dengan kondisi nelayan maupun masyarakat pesisir seperti yang telah disebutkan, ditambah dengan potensi yang merugikan nelayan dengan berlakunya undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menimbulkan persoalan ditingkat daerah seperti terurai dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang membolehkan pemilik modal melakukan privatisasi dan eksploitasi atas sumber daya alam pesisir dan laut selama 60 tahun. Mengenai hal itu, nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dipinggirkan dari ruang hidupnya.

Comment :
1. Mengenai kebijakan tersebut, yakni undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hendaknya pemerintah dalam pemberlakuannya mampu memberikan kenyamanan kepada masyarakat pesisir atau nelayan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kehidupan masyarakat pesisir.
2. Hendaknya mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana
3. Persoalan dari privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dimana hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak terampas dan harus dipahami, keterikatan nelayan dengan laut (termasuk tanah pesisirnya dan pulau) adalah jantung kehidupan. Sebagaimana petani dengan tanah.
4. Dalam hal ini, yang akan mengambil keuntungan besar adalah pihak swasta dan nelayan kaya. Sedangkan mayoritas nelayan secara perlahan-lahan akan menjadi buruh nelayan dan kemiskinanpun semakin melekat pada masyarakat pesisir.
baca selengkapnya...

Analisis Blow Out Lumpur Panas Sidoarjo Sebagai Suatu indikasi Yang Merusak Citra Keadilan

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Soisologi Hukum Yang Diampu Mulyanto S.H.,M.Hum.
1 juni 2010
oleh :

Miqdad Azizta Pugara (E0009219)

Pendahuluan

Menarik ketika membahas mengenai bencana yang hingga saat ini masih belum tertangani secara optimal oleh Pemerintah, yakni bencana yang terjadi di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Tepatnya pukul 22.00 WIB pada hari Senin, 29 Mei 2006. semburan Lumpur panas pun menyembur dari perut bumi, yang dalam hal ini PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk sebagai pengelola pengeboran minyak bumi Sumur Banjar Panji-1 yang menjadi titik mula semburan tersebut terjadi. (Ali Azhar Akbar, 2007 : 75)
Berbagai tanggapan mengenai kejadian luapan Lumpur panas tersebut, ada pihak-pihak terkait yang menyatakan kejadian tersebut merupakan akibat dari terjadinya gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter (SR) di Yogyakarta sehingga gempa tersebut berdampak pada semburan Lumpur panas di Porong, Sidoarjo. Disisi lain ada yang beranggapan bahwa hal tersebut hanya suatu alasan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan oleh pihak terkait yakni PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), yang memang petinggi pihak tersebut memiliki pengaruh di Negara Republik Indonesia khususnya dalam dunia perekonomian.
Berdasarkan paparan permasalahan diatas, penulis mempunyai keinginan untuk menganalisis permasalahan yang telah terjadi sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengawali pengamatan terhadap kasus bencana semburan lumpur panas Lapindo, semisal mengapa pertanggungjawaban terhadap bencana tersebut belum juga tertangani dengan pihak-pihak yang berkaitan? Adakah indikasi kejahatan kemanusiaan yang berpengaruh terhadap Keadilan? beragam pertanyaan kritis inilah yang akan menuntun penulis dalam menganalisis permasalahan Blow Out ( aliran minyak, gas dan lumpur yang tidak bisa dikendalikan didalam pipa pemboran atau lubang sumur dan menimbulkan ledakan atau nyala api di permukaan) Lumpur Panas Sidoarjo yang berindikasi merusak citra keadilan.

Blow Out Lumpur Panas Sidoarjo Suatu indikasi Yang Merusak Citra Keadilan
Mengenai kasus Blow Out Lumpur Panas Sidoarjo, walaupun banyak anggapan yang berbeda-beda dalam menanggapi permasalahan tersebut tidaklah patut jika dikaitkan dengan pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya bencana tersebut, khususnya masyarakat yang ada di lokasi terjadinya semburan lumpur panas yang telah menjadi korban semburan Lumpur panas di Sidoarjo. Pemerintah beserta pihak-pihak yang terkait dalam bencana semburan Lumpur panas sidoarjo yang dalam hal ini PT Lapindo Brantas Inc dengan upaya-upaya yang dilakukan demi tercapainya penanganan masalah yang telah merugikan banyak orang yang notabene rakyat yang tak berdaya menghadapi bencana tersebut hingga kini masih belum optimal dalam penanganannya.
Jika mempermasalahkan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam bencana ini tidakkah miris bila dikaitkan dengan keadaan masyarakat yang menjadi korban semburan lumpur panas sidoarjo. Hal ini bila dilihat dari perspektif keadilan yang sangat berkesinambungan dengan konsep Negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat serta hukum. Menelaah pandangan Satjipto Raharjo dalam buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (2009:2) yang memberikan pandangan mengenai hukum progresif yang disebut sebagai “Hukum yang pro-rakyat” dan “Hukum yang pro-keadilan”, karena hukum progresif merupakan pandangan bahwa hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia, sehingga bila melihat kembali mengenai permasalahan yang timbul akibat semburan Lumpur panas Lapindo yang menimbulkan tragedi kemanusiaan hingga tidak terasa telah empat tahun melanda masyarakat korban Lumpur Lapindo yang sampai saat ini masih memperihatinkan, sangatlah penting untuk memahami arti dari suatu keadilan yang memiliki aturan dengan hati nurani. Sehingga pihak-pihak yang memang bertanggung jawab dapat lebih memperhatikan kepentingan dari masyarakat yang telah menjadi korban Blow Out lumpur panas Sidoarjo.
Berbicara mengenai prinsip keadilan dapat di telaah dalam pandangan John Rawls mengenai keadilan dalam buku Teori Keadilan Dasar-dasar Filsfat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara (1996). Menurut Rawls, keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial bisa berjalan secara berkeadilan, ia harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan.
Pertama, kebebasan yang sama (principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama.
Kebebasan dasar ini, antara lain:
1. Kebebasan Politik;
2. Kebebasan Berfikir;
3. Kebebasan dari Tindakan Sewenang-wenang;
4. Kebebasan Personal; dan
5. Kebebasan untuk Memiliki Kekayaan.
Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung dan melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang. Artinya, Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksaaman tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan, kerja sama dan kaitan saling menguntungkan juga membutuhkan di antara mereka.
Dalam hubungan di antara dua prinsip keadilan tersebut, menurut Rawl, prinsip pertama berlaku lebih dibanding prinsip kedua. Artinya, prinsip kebebasan dari I tidak dapat diganti oleh tujuan-tujuan untuk kepentingan social ekonomi dari prinsip II. Penegasan ini penting guna menghindari “kesalahan” dari konsep keadilan utilitarinisme. Menurut utilitarinisme, kegiatan yang adil adalah kegiatan yang paling besar menghasilkan keuntungan social ekonomi bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the greatest number). Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan.
Ketika dua prinsip keadilan John Rawls di atas dicoba untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang lebih konkrit, butuh interpretasi-interpretasi. Interpretasi ini terpusat pada prinsip kedua, karena bagi Rawls, prinsip pertama sudah diandaikan sebagai syarat qath`i, tidak bisa berubah dalam seluruh interpretasinya.
Prinsip kedua, seperti dijelaskan di atas, mengandung dua rumusan, yaitu :
1. Keuntungan bagi setiap orang (everyone’s advantage)
a. Prinsip efisiensi (principle of efficiency);
b. Prinsip perbedaan (difference principle).
2. Terbuka semua (equally open)
a. Terbuka bagi bakat (equality as careers open to talents)
b. Terbuka bagi kesempatan yang fair (equality as equality of fair oportunity).
Selanjutnya, dari kemungkinan 1 (a dan b) dan kemungkinan 2 (adan b) dapat dihasilkan empat kemungkinan interpretasi, yaitu :
1. Kebebasan Alami (KA);
2. Kesamaan Bebas (KB);
3. Aristokrasi Alami (AA); dan
4. Kesamaan Demokrasi (KD)
Berdasarkan pandangan tersebut, pada kasus Blow Out lumpur panas Sidoarjo dapat direlevansikan dengan fakta yang selama ini telah ada pada penanganannya, ternyata masih menimbulkan tragedi kemanusiaan. Seperti pernyataan yang dikutip dari Citizen Journalism dalam Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo (www.beritajatim.com) Jika di Porong sekitar lebih 100 ribu warga tak tentu nasibnya, sebaliknya – Abu Rizal Bakrie – sang pengusaha pemilik Lapindo justru mendapat tempat istimewa di sisi Susilo Bambang Yodhoyono dan partai-partai berkuasa. Tak hanya setia melindungi Bakrie, kini partai berkuasa berkonsolidasi dalam sebuah koalisi gabungan. Inilah potret telanjang perselingkuhan Pengurus negeri dengan pebisnis. Buah perselingkuhanan inilah faktor kuat berlarutnya penuntasan kasus Lumpur Lapindo. Serta dalam penanganan kasus Lapindo bagai hidup segan, mati tak hendak. Hal ini bisa dilihat dari :
Pertama, pembiaran terjadinya mafia hukum keluarnya SP3 oleh Kepolisian Jawa Timur untuk menghentikan penyelidikan kasus Lapindo Putusan perkara perdata Walhi dan YLBHI yang menjadi rujukan kepolisian untuk mengeluarkan SP3 tidak tepat karena perbedaan kontek antara sistem
perdata dan pidana. Dalam pidana, pemerintah wajib berperan aktif melindungi warga negara dari tindak pidana kejahatan, Faktanya sulit diterima akal sehat, penyidik negara tidak aktif, justru menghentikan upaya penyelidikannya.
Kedua, Kebijakan-kebijakan Susilo Bambang Yodhoyono, yang justru menguntungkan Bakrie. Salah satunya, penggunaan anggaran APBN menangani lumpur ini. Pada Pasal 15 A Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo disebutkan, “Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.”
Ketiga. Penanganan ala kadarnya sehingga mengesankan luapan lumpur tak mungkin ditangani, jelas-jelas menguntungkan Bakrie. Celakanya, justru berpotensi meluaskan daya rusak luapan lumpur. Persoalan sosial kian meluas seiring dibuangnya Lumpur Lapind ke Kali Porong menuju laut. Padahal, Kali Porong sumber pengairan lebih dari 4.000 hektar tambak di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Buangan ini akan masuk dan merusak tambak, serta meracuni udang dan ikan di dalamnya. Kerusakan meluas terjadi beresiko mengganggu sekitar 40 sampai 50 persen produksi perikanan laut Jawa Timur, tidak bisa berjalan normal. Padahal, perikanan tambak merupakan unggulan Kabupaten Sidoarjo, kawasan dengan luasan tambak organik terbesar di Indonesia. Sekira 30 persen ekspor udang Indonesia berasal dari tambak Sidoarjo dengan nilai produksi sekira Rp 800 miliar per tahun. Dampak serupa juga akan dialami ribuan nelayan di pesisir Sidoarj, Madura, Surabaya, Pasuruan, dan Probolinggo yang terancam kehilangan sumber penghidupan.
Keempat, tak ada upaya penyelamatan warga. Seperti diramalkan, penanganan dengan pendekatan “jual beli” justru absen jaminan terhadap keselamatan warga. Lagi-lagi menguntungkan Bakrie. Korban Lapindo dijauhkan dari hak-hak dasarnya, mulai jaminan keamanan, hidup sehat hingga jaminan pendidikan. Hilangnya mata pencaharian orang tua menyebabkan banyak anak putus sekolah. Akibat luapan Lumpur Lapindo, siswa SDN Kedungbendo awalnya berjumlah 553 orang dan kini hanya tersisa 30 orang. Lebih parah lagi, dari 15 orang tenaga pendidik, kini tersisa 3 orang.
Inilah beberapa anggapan yang selama ini ada, karena memang kurangnya perhatian dari pihak-pihak yang terkait. Dengan demikian penerapan keadilan dan perubahan yang positifpun sangat diharapkan oleh pihak yang telah menjadi korban dalam Blow Out lumpur panas sidoarjo, sesuai dengan prinsip keadilan yang telah dijelaskan menurut beberapa pandangan yakni Rawls dan tentang hukum progresif yang dikatakan sebagai hukum yang pro-keadilan.sedangkan sesuatu dikatakan telah mengalami perubahan positif bila memiliki ciri-ciri (Amru Hasan, 2005 : 41-42): (1) perubahan itu memuat rencana yang sudah dipelajari dan dipertimbangkan, (2) tujuan atau sasaran perubahan sudah diketahui, begitu juga dengan sarananya, (3) perubahan mendatangkan lowongan kerja baru yang dapat membawa semua pihak menuju kemajuan, (4) perubahan mampu melenyapkan segala rintangan yang dapat menambah lemahnya suatu lembaga atau mengurangi kepositifannya, (5) perubahan itu memuat beberapa ketentuan dan pengarahan yang benar, agar tidak keluar dari kontrol yang seimbang, (6) perubahan mendatangkan keinginan dan ide-ide baru bagi lembaga, juga bagi karyawan dan mampu menambah semangat dan etos kerja, (7) menghilangkan sisi-sisi kelemahan dan cela terdahulu yang mendorong timbulnya perubahan, (8) mencari unsur dan keahlian baru untuk mewujudkan cita dan tujuan.
Jika mencermati ciri perubahan positif yang telah dipaparkan, apakah dalam hal penanganan Blow Out lumpur panas sidoarjo telah memenuhi ciri tersebut, hingga dapat dikatakan telah mengalami perubahan positif ? berdasarkan tanggapan-tanggapan dan fakta-fakta yang ada, dapat dikatakan belum memenuhi. Pemerintah beserta pihak-pihak yang terlibat seharusnya mampu menanggapi permasalahan tersebut secara bijak. Sehingga tidak membiarkan tragedi kemanusiaan terus terjadi.

Kesimpulan

Analisis kasus mengenai Blow Out lumpur panas Sidoarjo dapat dikatakan memilki indikasi yang merusak citra keadilan di Indonesia yang memiliki pandangan kedaulatan rakyat serta sebagai Negara hukum yang seharusnya hal tersebut tidak terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada mengenai kasus tersebut. Baik itu mengenai proses penanganan maupun cara pemerintah menanggapinya yang menimbulkan teragedi kemanusiaan yang berlarut-larut, sehingga mencerminkan bahwa pemerintah terkesan telah membiarkan begitu saja penderitaan yang dialami masyarakat yang menjadi korban dari semburan lumpur panas sidoarjo. Hal ini lah yang menjadi perusak citra keadilan di Negara Indonesia tercinta. Ingin dibawa kemana bangsa ini bila terus saja mengesampingkan keadilan? Dengan demikian prinsip-prinsip keadilanpun sangat diharapkan seperti keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial bisa berjalan secara berkeadilan, ia harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan. Pertama, kebebasan yang sama (principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama. Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung dan melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Selain itu terdapat pula suatu aturan yang didamba akan penerapannya untuk terwujudnya keadilan, yakni mengenai hukum progresif yang disebut sebagai “Hukum yang pro-rakyat” dan “Hukum yang pro-keadilan”, karena hukum progresif merupakan pandangan bahwa hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia, sehingga bila melihat kembali mengenai permasalahan yang timbul akibat semburan Lumpur panas Lapindo yang menimbulkan tragedi kemanusiaan hingga tidak terasa telah empat tahun melanda masyarakat korban Lumpur Lapindo yang sampai saat ini masih memperihatinkan, sangatlah penting untuk memahami arti dari suatu keadilan yang memiliki aturan dengan hati nurani. Sehingga pihak-pihak yang memang bertanggung jawab dapat lebih memperhatikan kepentingan dari masyarakat yang telah menjadi korban Blow Out lumpur panas Sidoarjo.
baca selengkapnya...

MENGOPTIMALKAN CHECKS AND BALANCES EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM SISTEM PRESIDENSIAL

Karya Tulis yang ikut serta dalm LKTI SIMI FH UI

ANALISIS DAN SINTESIS

A. Relasi Sistem Presidensial dengan Mekanisme Lembaga Perwakilan Rakyat dalam hal ini DPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Dilema sistem presidensial di Indonesia telah menjadi suatu polemik dalam kehidupan bernegara, dimana sistem presidensial yang pada dasarnya memiliki kelebihan stabilitas eksekutif dengan masa jabatan yang tetap, legitimasi dan mandat yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang relatif tegas diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, legislatif, yudikatif adalah tiga diantara sejumlah kelebihan utama sistem presidensial. Meskipun demikian sistem tersebut memiliki tiga kelemahan yakni pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan buntu politik (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Potensi tersebut semakin besar lagi apabila sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kedua, kekakuan sistemik akibat masa jabatan eksekutif yang tetap. Ketiga, memberi peluang bagi presiden mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas nama rakyat. ( Syamsudin Haris, 2008 : 149 ). Mengkaji lebih lanjut mengenai sistem presidensial tidak lepas dari keberhasilan Amerika Serikat dalam mengembangkan sistem tersebut dengan murni, dimana kedudukan kepala pemerintahan dan pemerintahan diemban oleh seseorang yakni presiden, namun kewenangannya dibatasi oleh prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum ( Jimly Asshiddiqie, 2005 : 58 ). Berdasarkan sidang tahunan MPR 1999 seluruh fraksi MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satunya sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial ( dengan menyempurnakannya sesuai dengan ciri-ciri sistem presidensial ). Mengenai hal tersebut Negara Indonesia yang telah menetapkan sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial yang terkandung dalam Bab I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tentang bentuk dan kedaulatan, Pasal 1 ayat (2) menetapkan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Dan Bab III Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengenai kekuasaan pemerintahan Negara khususnya pasal 6A ayat (1) tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, hal ini yang mencerminkan sistem presidensial.
Prof, Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dan arti formal. Adapun yang dimaksudnya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian : Legislatif, Eksekutif & Yudikatif. Sedangkan yg dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Prof.Dr. Ismail Suny S.H,M.C.L Mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti Materiil sepantasnya disebut separation of power (pemisahan kekuasaan), sedangkan dalam arti formal disebut division of power (pembagian kekuasaan). (http://www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg79717.html)

Dari uraian diatas, Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan dalam arti formal atau pembagian kekuasaan yang tidak mempertahankan secara tegas pembagian kekuasaan tersebut. Sedangkan dalam sistem presidensial murni diperlukan suatu ketegasan yang jelas dalam pemisahan kekuasaan, ketegasan dan kejelasan dari sistem tersebut pada realitanya belum terpenuhi penerapannya dari hakekat presidensial itu.
Mengenai pembagian kekuasaan yang telah diterapkan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi acuan bagi penulis dalam memahami hubungan antar lembaga di Indonesia yang menganut sistem presidensial khususnya lembaga eksekutif dengan legislatif yang memiliki kerancuan didalam sistem tersebut, hubungan itu terkait dengan pihak-pihak yang berkecimpung menjalankan perannya sebagai pemegang amanah rakyat, yang tentunya dipilih secara langsung oleh rakyat, dengan demikian secara langsung ataupun tidak langsung segala tindakan yang dilaksanakan merupakan wewenang yang berasal dari rakyat disinilah makna suatu pertanggungjawaban itu perlu lebih dimaknai, bukankah kedaulatan Negara kita berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar? Seperti yang terkandung dalam pasal 1 ayat (2) yang menjelaskan hal tersebut. Bila kita maknai kandungan pasal 1 ayat (2) menunjukkan pentingnya suatu aturan yang benar-benar mampu menegakkan kedaulatan rakyat. Semua itu terkait pelaksanaan peran lembaga-lembaga yang telah dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan ini demi kepentingan rakyat. Dengan demikian sangatlah penting adanya suatu hubungan yang tidak saling menghalang-halangi antar lembaga tersebut, karena di Indonesia sendiri masih banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan sistem presidensial seperti adanya multipartai dan koalisi dalam suatu parlemen yang hubungan tersebut berkaitan dengan pemetaan kekuasaan yang tidak stabil dan efektif antar lembaga eksekutif dan parlemen.

Didalam lembaga legislatif terdapat suatu faktor yang tidak mendukung kestabilan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem presidensial, yakni adanya interfensi partai-partai yang mendukung pihak yang berada dalam lembaga tersebut. Pada hakekatnya DPR sebagai lembaga yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat seharusnya keterikatan terhadap rakyat jauh lebih kuat dibandingkan keterikatan terhadap kepentingan partainya. Hal ini lah yang menjadi dilema dalam hubungan antara presiden dan DPR di Indonesia, pada sistem presidensial yang secara tegas memisahkan kekuasaan antar lembaga, namun pada praktiknya pemisahan kekuasaan sebagai ciri dari sistem presidensial tidak terpenuhi bahkan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dan setelah ternyata masih menganut sistem pembagian kekuasaan yang mencerminkan keraguan untuk benar-benar menerapkan sistem presidensial. Sebenarnya hal tersebut tepengaruhi oleh tidak efektifnya mekanisme dalam pelaksanaan yang penerapannya terpengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang mengenyampingkan kepentingan rakyat.

Pada dasarnya kita harus mengetahui konsep “Negara dengan kepedulian” yang telah dipaparkan oleh Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Negara tersebut bukan Negara yang berhenti pada tugasnya untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi publiknya, tetapi bersemangat untuk menjalankan fungsi tersebut secara peduli, yaitu peduli pada nasib bangsanya. Peduli tersebut adalah suatu keadaan yang khas, yaitu melaksanakan pekerjaan dengan semangat ( compassion ), empati, dedikasi, determinasi dan komitmen tinggi ( Satjipto Rahardjo, 2009 : 83 ). Kepedulian inilah yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang atas kehidupan berbangsa dan ketatanegaran di Indonesia, sehingga tercapainya suatu keadaan yang kondusif di dalam kepemerintahan.

Belajar dari sistem presidensial yang diterapkan oleh Amerika Serikat yang jelas-jelas menganut sistem presidensial murni yang didampingi oleh mekanisme checks and balances sebagai pengontrol masing-masing kekuasaan, di Indonesia sendiri telah berusaha menerapkan prinsip mekanisme checks and balances dalam sistem kepemerintahannya melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengarah ke separation of power untuk lebih menciptakan mekanisme tersebut. Mekanisme checks and balances merupakan suatu fenomena tersendiri dalam sistem presidensial, karena mekanisme tersebut menjadi inti bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu, pengoptimalan mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan yang ingin diterapkan secara maksimal di Negara kesatuan republik Indonesia yakni sistem presidensial adalah suatu hal yang harus dilakukan, maka dari itu penulis ingin mengkaji mengenai hal tersebut sebagai suatu gagasan dalam karya tulis ini yang akan dibahas pada analisis kedua dalam karya tulis ini.

B. Mengoptimalisasikan Hubungan Checks and Balances antara Presiden dengan DPR dalam Sistem Presidensial

Negara kita dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang kita anut adalah sistem pemerintahan presidensial yang dalam pengertian presidensial itu sendiri adalah memisahkan secara tegas antar lembaga negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam hubungan antar lembaga diatur secara tegas dan tidak saling tumpang tindih dalam kewenangan kekuasaannya, seperti yang telah dipaparkan pada analisis pertama diatas.
Pemisahan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif disini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang ada di dalam menjalankan tugas eksekutifnya untuk tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan Perwakilan rakyat ini menurut idea Trias Politika Montesque memegang kekuasaan legislatif, jadi bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum.(Soehino, 2005: 249)

Sehingga dalam pelaksanaan wewenang harus ada checks and balances antar lembaga negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam menjalankan tugasnya agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Arti checks and balances itu sendiri adalah saling kontrol dan seimbang, maksudnya adalah antara lembaga negara harus saling mengontrol kekuasaan satu dengan kekuasaan yang lainnya agar tidak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya dan saling menjatuhkan. Hal ini sangat penting agar dapat terciptanya kestabilan pemerintahan didalam negara atau tidak terjadi percampuradukan antar kekuasaan dan kesewenang – wenangan terhadap kekuasaan. Seperti dalam pembagian kekuasaan di negara Amerika Serikat yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial murni yang menggunakan prinsip check and balance dan penerapan dua partai menghasilkan pemerintahan yang stabil, karena kerja antar lembaga negara sangat profesional, tidak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya dalam setiap lembaga negara. Negara Indonesia tidak keliru, apabila bila Undang – undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menginginkan pemerintahan yang kuat. Yang menjadi kelemahan akan tetapi juga menjadi kekuatan dari Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa kekuatan presiden sangat kuat, akan tetapi bukan berarti tanpa batas.
Negara Indonesia mengharapkan dapat menjalankan sistem pemerintahan presidensial secara murni dan sesuai dengan karakteristik – karakterisitik sistem presidensial yang seharusnya. Akan tetapi pada kenyataannya, di Indonesia belum dapat menjalankan pemerintahan sistem presidensial secara murni karena dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sekarang ini dinilai masih cenderung menggunakan sistem pemerintahan parlementer, memang didalam perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkuat mengenai sistem presidensial yang berlaku dalam pemerintahan di Indonesia, akan tetapi didalamnya masih terdapat kerancuan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Seperti contoh yang dikemukakan oleh A. Latief Furqon (2008:173-174) dalam buku Gagasan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Rekomendasi memberikan contoh adanya kerancuan pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pada Pasal 20 ayat (1), ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang – undang.” Sedangkan pada Pasal 5 ayat (1),” Presiden berhak mengajukan rancangan undang – undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Dalam pasal 20 ayat (1) terjadi pemisahan secara tegas, dan tugas dan kekuasaan DPR diatur jelas, akan tetapi pasal ini akan menjadi lemah dan rancu dengan rumusan Pasal 20 ayat (2), ”Setiap undang – undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Rumusan pasal ini terdapat kerancuan, karena dapat ditafsirkan menjadi beberapa penafsiran, antara lain yang dimaksudkan dengan pasal diatas apakah pembahasan perundang –undangannya yang dilakukan secara bersama, karena untuk memperoleh persetujuan yang sama harus dilakukan pembahasan bersama, atau penafsiran lain adalah pembahasan dapat dilakukan bersama atau tidak bersama (sendiri – sendiri) akan tetapi yang terpenting adalah pembahasan tersebut mendapatkan persetujuan bersama. Sedang Pasal 20 ayat (5), ”Dalam rancangan undang – undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang –undang tersebut disetujui, rancangan undang – undang tersebut sah menjadi undang – undang dan wajib diundangkan”. Dalam rumusan pasal diatas diartikan bahwa presiden diharuskan mengesahkan undang – undang yang telah disepakati bersama, sehingga prinsip checks and balances antara presiden dengan DPR dalam bentuk hak Veto untuk tidak mengesahkan undang – undang yang telah disepakati bersama tidak dimungkinkan.

Dari kontroversi pasal diatas merupakan contoh bagaimana kerancuan dan kelemahan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia, yang dimana pemerintahan di Indonesia belum dapat menerapkan prinsip checks and balances yang terdapat pada pasal 20 ayat (5) mengenai hak Veto yang merupakan prinsip pokok dalam pelaksanaan prinsip check and balances. Fungsi hak veto itu sendiri adalah menjaga kekuasaan lembaga legislatif agar tidak melakukan abuse of power, begitupun sebaliknya agar Presiden tidak sewenang – wenang dalam menjalankan hak Vetonya, DPR dapat menolak Veto dari Presiden. Akan tetapi kelemahan undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara tegas mengenai hak Veto tersebut.

Checks and balances merupakan prinsip pemerintahan presidensial yang paling mendasar dimana dalam negara yang menganut sistem presidensial merupakan prinsip pokok agar pemerintahan dapat berjalan dengan stabil. Didalam prinsip checks and balances terdapat dua unsur yaitu unsur aturan dan unsur pihak – pihak yang berwenang. Untuk unsur aturan sudah diatur didalam Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana dalam unsur aturan didalam pemerintahan di Indonesia dinilai cukup baik dan namun dalam pelaksanaanya belum optimal, hal ini disebabkan karena para pihak – pihak yang tidak profesional dalam menjalankan wewenangnya. Seperti contoh, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama, partai yang mendukung adalah partai kecil, sehingga yang masuk di lembaga legislatif hanya sebagian kecil, dan sebagian besar ditempati oleh partai lain. Ketika Presiden mengajukan suatu kebijakan, DPR sering kali menolak kebijakan tersebut, hal itu disebabkan karena pihak DPR banyak yang tidak berpihak pada Presiden karena lebih mengutamakan kepentingan partainya dari pada profesionalisme dalam kewenangannya sebagai DPR. Hal ini menunjukan bahwa pihak – pihak yang memegang kewenanganlah yang sangat berperan dalam menentukan pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip checks and balances atau tidak, sehingga perlu adanya pengoptimalan terhadap pelaksanaan prinsip checks and balances, karena checks and balances merupakan cerminan dari sistem presidensial, apabila checks and balances itu dapat berjalan sesuai dengan kaidah pengertiannya, maka sistem pemerintahan presidensial akan berjalan dengan stabil. Sistem checks and balances itu dapat dikatakan berjalan dengan lancar yaitu apabila checks = kontrol yaitu, antar lembaga negara harus dapat saling mengontrol antar lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam karyanya, A.Latief Fariqun (2008:173) mencontohkan bahwa, Presiden diberi hak Veto atas suatu undang – undang yang telah diterima oleh legislatif, akan tetapi hak Veto tersebut dapat ditolak oleh Legislatif dengan jumlah suara 2/3 dari anggota, hal ini untuk membatasi adanya tindakan sewenang – wenang yang dilakukan Presiden melalui hak Veto, dan hak Veto sendiri merupakan alat pengontrol agar Legislatif tidak melebihi dari kekuasaannya, Sedangkan untuk lembaga Yudikatif sendiri, dalam mengontrol lembaga eksekutif dan legislatif menggunakan judicial review, akan tetapi hakim agung juga dapat diberhentikan jika terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana, dan yang berwenang memberhentikan hakim agung adalah lembaga legislatif. Disamping merupakan bentuk pengontrolan terhadap lembaga – lembaga negara. Untuk pengertian balances = seimbang, antar lembaga – lembaga negara dalam dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan batasan kekuasaannya, lembaga – lembaga negara tidak boleh mencampuri tugas dan kewenangan lembaga negara lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap lembaga negara tidak boleh melebihi batas kekuasaannya sebagai mana yang telah diatur sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Adapun yang perlu diperhatikan agar checks and balances antara lembaga negara dapat berjalan dengan sesuai antara lain :
1. Perlu adanya aturan yang tegas dan tidak rancu dalam konsep hubungan antara pemerintah sebagai pelaksana pelaksana perundang – undangan dengan lembaga perwakilan rakyat yang berkuasa terhadap pembentukan perundang – undangan, agar tidak saling menghambat dalam melaksanakan perannya masing – masing. Inilah yang akan menjadi tugas bersama antar lembaga-lembaga negara yang telah mengemban kewenangan yang berasal dari Rakyat.
2. Merekonstruksi undang – undang yang tidak sesuai, agar tidak terjadi adanya undang – undang yang saling bertentangan.
3. Perlu adanya kesadaran oleh para pihak yang mempunyai kewenangan dalam lembaga negara hendaknya perlu memaknai rasa kepedulian terhadap bangsa dan menyadari bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu untuk rakyat.
4. Perlu ditanamkan pada diri pihak – pihak yang berwenang dilembaga negara untuk memiliki jiwa pengabdi pada masyarakat, sehingga yang lebih diutamakan adalah rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok (Partai)
5. Dan perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab untuk dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan kekuasaannya tanpa ikut campur terhadap lembaga lain, atau bekerja melebihi batas kekuasaan.
Selain checks and balances yang menjadi cerminan dari sistem pemerintahan presidensial, ada cerminan lain yang menjadi pokok dalam karakteristik presidensial yaitu adanya partai oposisi. Di Indonesia, hingga saat ini masih multipartai, padahal dalam sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya multipartai, yang ada hanya partai oposisi. Akan tetapi adanya Undang – undang Pemilu yang terbaru, diharapkan dapat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga semakin lama partai di Indonesia akan semakin menyusut dan pada akhirnya hanya akan ada partai koalisi sehingga akan lebih menegaskan sistem presidensial yang ada di Indonesia mendatang. Maka dari itu hendaknya undang-undang terbaru tersebut dapat diterapkan sebaik mungkin bahkan lebih ditekankan lagi untuk tecapainya hubungan yang kondusif dalam sistem pemerintahan peridensial dengan mekanisme checks and balances yang optimal.

Oleh :
MIQDAD AZIZTA PUGARA (E0009219)
FARADINA NAVIAH (E0009131)
WINJANI PRITA DEWI (E0009360) baca selengkapnya...

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KONSEP “ZONA SEJAHTERA” SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERHADAP KRIMINALISASI PENANGANAN ANAK JALANAN

KONSEP “ZONA SEJAHTERA” SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERHADAP KRIMINALISASI PENANGANAN ANAK JALANAN

oleh:

TIARA KUSUMANINGRUM (E0007226)ANGKATAN 2007
YURISA SWASTIKA (E0007248)ANGKATAN 2007
MIQDAD AZIZTA PUGARA (E0009219)ANGKATAN 2009

Kehidupan anak jalanan dengan berbagai karakteristiknya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lain. Image negatif yang selama ini melekat pada anak jalanan menjadi fokus perhatian dari semua pihak yang konsen terhadap upaya pengembangan dan pembinaan anak jalanan tersebut. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Bab II Pasal 2 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak pada dasarnya berhak mendapatkan kesejahteraan, perawatan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dalam kehidupan sosial, mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan baik sebelum atau sesudah lahir serta mendapatkan perlindungan terhadap lingkungan yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan. Sedangkan menurut UNICEF (1986), anak jalanan adalah anak yang berusia kurang dari 16 tahun yang bekerja di jalan-jalan perkotaan, tanpa perlindungan dan mereka menghabiskan waktu dijalanan atau alasan mereka berada dijalanan. Begitu pula dalam Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 juga disebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup dijalanan dan anak yang menghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membiayai hidupnya, baik yang masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. (http:// blog.unila.ac.id/abdulsyani/.../solusi-sosiologis-penanganan-anjal.pdf)
Secara umum masyarakat memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang sangat kompleks bahkan membentuk sebuah lingkaran yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Kalangan aparat hukum, polisi misalnya, memandang bahwa payung kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani anak jalanan belum ada. Mereka sulit untuk melakukan tindakan hukum berhubung tidak adanya undang-undang khusus mengenai anak jalanan seperti misalnya Perda, Perpu atau yang lainnya sehingga dirasa sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak-anak tidak berada di jalan. Pemerintah sampai kini masih dianggap gagal dalam mengatasi permasalahan anak jalanan. Semua itu lebih disebabkan karena faktor metode penanganan anak jalanan yang masih bersifat parsial dan instruksional. Metode pemerintah selalu saja terbentur oleh berbagai bentuk perlawanan anak jalanan, karena kebijakan yang diambil seolah-olah menafikkan peran dan keberadaan mereka. Penertiban terhadap anak jalanan yang dilakukan saat ini masih banyak yang menggunakan cara-cara kekerasan atau pendekatan kriminal, misalnya dengan cara razia yaitu “digaruk”, ditahan, bahkan ada yang melakukan razia dubur. Cara-cara seperti ini sungguh tidak etis dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebenarnya dalam “garukan” inipun ada nilai positifnya. Hanya saja, pemerintah belum cukup jeli mengambil makna tindakan garukan tersebut. Garukan ini seolah-olah dijadikan justifikasi pemerintah untuk memberikan efek jera terhadap anak jalanan. Namun, tanpa disadari justru kebijakan pemerintah ini dapat mengkriminalisasikan anak jalanan. Biasanya apabila ada razia anak jalanan, anak-anak tersebut hanya ditangkap, didata, lalu dilepas lagi dan kembali menjadi anak jalanan. Model razia tersebut adalah bukan solusi dan dengan melakukan razia tersebut pemerintah dapat dikatakan sengaja menelantarkan anak jalanan dan justru menambah stigma yang buruk terhadap anak jalanan. Hal seperti ini dapat mendorong anak-anak jalanan tersebut melakukan kejahatan, mereka akan cenderung menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku.
Prof. Dr. Muladi, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Teori-teori dan Kebijakan Pidana” mengatakan bahwa usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminil) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang “non-penal”. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, dan lain sebagainya.
Beberapa elemen masyarakat sebenarnya sudah berupaya berkontribusi dalam penanganan masalah anak jalanan, misalnya dengan mendirikan Rumah Singgah. Di Rumah Singgah inilah anak jalanan ditampung dan dibina dengan memberikan pelatihan kemandirian bagi mereka. Namun, antara Rumah Singgah dan Pemerintah masih belum sinergis dalam mengimplementasikan gagasan. Sama-sama ingin mengentaskan anak jalanan, namun dengan perspektif dan metode yang berbeda. Pendekatan bahwa gelandangan, anak jalanan dan pengemis adalah sampah masyarakat dan harus ada tindakan yang lebih menonjolkan pendekatan represif, seolah tidak memberikan solusi sistemik. Hal yang perlu digarisbawahi dari point tersebut adalah sesegera mungkin untuk diadakan koordinasi dan menggagas ide konstruktif dan humanis dalam menemukan formula yang tepat dalam upaya penanganan anak jalanan.
Menanggapi realita ini penulis menawarkan solusi kreatif berupa konsep pendirian “Zona Sejahtera” sebagai upaya preventif terhadap kriminalisasi penanganan anak jalanan. Pendekatan itu misalnya dilakukan melalui pemetaan potensi anak-anak jalanan.
Model pendirian ”ZONA SEJAHTERA” adalah bentuk solusi untuk membantu pemerintah memaksimalkan penanganan anak jalanan dengan tanpa menggunakan pendekatan kriminal, tetapi dengan pendirian suatu lingkungan yang khusus dibentuk untuk membina anak jalanan. Model pemberdayaan tidak hanya difokuskan pada satu sasaran saja, tetapi juga melibatkan semua pihak melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.
Di dalamnya akan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif, baik itu berupa lembaga pendidikan khusus, pengembangan bakat, bahkan diadakan pula penyuluhan-penyuluhan rutin dengan mendatangkan langsung narasumber yang ahli di bidangnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk untuk meningkatkan kualitas anak jalanan dan mengembangkan kreativitas anak jalanan. Karena kegiatan ini menyangkut anak maka sedapat mungkin dilaksanakan dengan memaksimalkan partisipasi anak. Contoh kegiatan tersebut misalnya fasilitas bermusik bagi anak-anak jalanan. Mereka dibina agar dapat menghasilkan musik atau lagu sendiri, sehingga apabila mereka ingin “ngamen”, mereka dapat “ngamen” di tempat-tempat seperti di restoran, cafe, atau dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Jadi tidak hanya “ngamen” dari mobil ke mobil atau dari rumah ke rumah. Kegiatan lain misalnya dengan pembinaan dalam pembuatan industri kreatif dari bahan-bahan yang sederhana sehingga mereka dapat menghasilkan suatu produk yang dapat dipasarkan ke masyarakat.
Di samping kegiatan tersebut juga ada kegiatan pendidikan yang pada dasarnya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000 : 371). Dalam kegiatan pendidikan ini juga sebaiknya dilengkapi dengan penyuluhan kesehatan, resosialisasi, penanganan kasus, bimbingan dan konseling.
Konsep “Zona Sejahtera” ini juga akan mengupayakan pemberdayaan orang tua baik secara ekonomis maupun dalam hal kesadaran mengenai hak anak, serta pola asuh yang baik. Pemberdayaan keluarga anak jalanan dilakukan melalui pemberian modal usaha ekonomi produktif sesuai dengan bakat, minat dan keterampilan yang dimiliki, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga, tanggung jawab keluarga, larangan eksploitasi atau penelantaran anak. Dalam konsep ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuhkembangkan potensi anak jalanan ke arah yang positif sehingga diharapkan orang tuanya dapat kembali mendidik dan mengasuh anaknya tanpa ketergantungan dan mengganggu ketertiban masyarakat. Selain itu akan dilakukan juga kegiatan-kegiatan yang sasarannya adalah masyarakat, yakni melalui sosialisasi tentang program penanganan anak jalanan, pelibatan masyarakat dalam program penanganan anak jalanan. Dan point penting dari gagasan yang penulis tawarkan dari konsep “Zona Sejahtera” ini adalah harus mengedepankan fungsinya sebagai pendukung reunifikasi atau reintegrasi, penyedia program yang berkesinambungan, serta tempat “pengganti keluarga”.
Sebagai tindak lanjut dalam program “Zona Sejahtera” tersebut, terdapat beberapa tahapan-tahapan dalam mengatasi permasalahan anak jalanan tersebut, antara lain :
1. Tahap sosialisasi program kepada masyarakat.
2. Melakukan assesment (penelusuran)
Dalam tahap ini para relawan melakukan pengidentifikasian terhadap anak-anak jalanan untuk memperoleh data yang selengkap-lengkapnya.
3. Tahap inisiasi
Setelah diperoleh data/identitas anak jalanan tersebut, maka dilakukan tahap inisiasi dimana anak jalanan diberi pengertian, diberi motivasi, dan diberikan penyadaran bahwa pilihan hidup menjadi anak jalanan itu sangat tidak baik dan berbahaya serta meyakinkan bahwa kondisi mereka bia diperbaiki. Tahap inisiasi dapat dilakukan di dalam “Zona Sejahtera” sebagaimana yang Penulis usulkan.
4. Tahap pemberdayaan
Tahap pemberdayaan merupakan tindak lanjut program perlibatan partisipasi masyarakat yang ditawarkan dalam konsep gagasan “Zona Sejahtera” ini. Adapun bentuk perlibatan masyarakat tersebut meliputi :
a. Anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pedagang asongan dan penjual loper koran digabung dalam satu kelompok usaha berupa kios yang dikelola secara bersama dengan modal-modal kecil dari mereka dan dibantu tambahan dari pengusaha dan pemerintah.
b. Pemerintah menyediakan suatu lokasi hiburan dimana anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen dapat melakukan kegiatan mengumpulkan uang. Lokasi atau tempat hiburan ini merupakan tempat rekreasi.
c. Pemerintah bekerjasama dengan pengelola tempat pencucian mobil, lapangan tenis, lapangan golf, mempekerjakan anak-anak jalanan sebagai pencuci kendaraan, pemungut bola, atau apapun yang dapat dikerjakan anak-anak tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama (kurang lebih 2-3 jam) dan etelah itu mereka dapat kembali ke rumah atau sekolah
d. Distributor koran/majalah dapat memekerjakan anak-anak jalanan tersebut untuk mengantarkan koran pada langganannya.
Sasaran dari gagasan ini adalah untuk mengembangkan potensi yang anak jalanan miliki tanpa harus mendiskriminasikan komunitas mereka dari masyarakat. Kemudian hasil dari kreasi anak jalanan itu akan difasilitasi dan dijembatani bahkan sampai dengan pemasarannya melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Dan dalam hal ini pemerintahlah yang akan menjadi fasilitator dan membantu menyiapkan sumber daya manusia.

KESIMPULAN

Keberadaan anak jalan sebagai suatu permasalahan perkotaan perlu untuk mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Fenomena anak jalanan berada dalam kompleksitas persoalan yang luas dan tidak berdiri sendiri, maka berbagai pihak perlu melaksanakan program integratif yang diarahkan tidak saja bagi anak jalanan, tetapi keluarga dan lingkungan dimana mereka tinggal. Bagi anak jalanan, mereka perlu dilibatkan dalam program pendidikan khusus yang dapat membuka wawasan mereka mengenai masa depan. Bagi keluarga terutama orang tua, perlu diberikan penyuluhan yang dapat meluruskan persepsi mereka mengenai kedudukan anak di dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat. Bentuk penanganan dan pendekatan yang dilaksanakan terhadap anak jalanan dalam konsep “Zona Sejahtera” ini lebih diprioritaskan pada cara-cara persuasif dengan melibatkan semua stakeholders. Konsep “Zona Sejahtera” ini melibatkan semua pihak melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya. Upaya tersebut dilatarbelakangi karena permasalahan anak jalanan ini merupakan realitas sosial yang penanganannya membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak. “Zona Sejahtera” ini akan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif yang dapat mengembangkan ketrampilan dan keproduktifan anak-anak jalanan itu sendiri, selain itu juga diadakan penyuluhan-penyuluhan pemberdayaan orang tua dan perlibatan masyarakat dalam menangani permasalahan anak jalanan. Sebagai tindak lanjut dalam program “Zona Sejahtera” tersebut, ada beberapa tahapan yang dapat diusahakan dalam mengatasi permasalahan anak jalanan yaitu melalui tahap sosialisasi program kepada masyarakat, tahap assesment (penelusuran), tahap inisiasi atau pendataan anak-anak jalanan, tahap penyaluran, dan tahap pemberdayaan. Dan hasil yang dapat diperoleh adalah anak jalanan secara sadar merasakan perlunya keterampilan bagi mereka supaya tidak kembali lagi ke jalanan. Selain itu juga untuk mengembalikan stabilitas lingkungan menjadi lebih tertib dan nyaman, khususnya di jalanan. Untuk itu, perlu dikembangkan model penanganan anak jalanan yang terkordinasi, jelas tujuannya, tepat sasaran dengan melibatkan berbagai lembaga pemerintah maupun masyarakat, serta memaksimalkan sumber-sumber yang ada. Selain itu, penulis juga memberikan saran hendaknya upaya penanganan dan pembinaan anak jalanan perlu didukung oleh peneliti secara berkesinambungan yang memantau fenomena kerja anak jalanan, sehingga dapat mencegah bentuk kriminalisasi terhadap anak jalanan.


baca selengkapnya...

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM MENYOAL EFEKTIVITAS PEMIDANAAN PELAKU PERNIKAHAN SIRI

GAGASAN

Guna mengatasi fenomena yang terjadi dalam rencana pemidanaan pelaku nikah siri, kawin kontrak dan poligami ini penulis menguraikan dalam poin-poin pembahasan sebagai berikut :

Kondisi Kekinian Praktik Pernikahan Siri Dalam Ketentuan Agama Islam.

Pernikahan dalam ketentuan Agama Islam adalah sah dan halal apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Pada kenyataannya pernikahan dalam Agama Islam sendiri diartikan sebagai pernikahan siri karena dilakukan tanpa pencatatan. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sendiri diatur bahwa pencatatan merupakan kewajiban negara, bukan sepenuhnya kewajiban masyarakat yang melangsungkan perkawinan. Oleh karena itulah penikahan siri yang selama ini tidak dipermasalahkan oleh agama selama tidak menimbulkan fitnah tiba-tiba disalahkan oleh hukum positif menjadi polemik yang berpotensi kekacauan di masyarakat. Disini penulis mengartikan bahwa pernikahan siri adalah pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat dari para ulama diantaranya uama-ulama dari MUI. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain sebagainya ( info@hizbut-tahrir.or.id diakses tanggal 2 Maret 2010).

Fakta-fakta yang Terkait Pernikahan Siri di Masyarakat.

Pernikahan siri yang menjadi polemik di masyarakat akan keabsahannya dapat dibahas secara mendetail jika ada fakta hukum yang menguatkannya. Ketika pernikahan yang sah secara agama dipersoalkan oleh hukum positif, harus ada pemahaman terhadap persepsi hukum yang terjadi. Pernikahan siri merupakan pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil. Sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni hukum pernikahannya dan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara. Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut dikategorikan ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”.
Seseorang dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah dan mubah atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh. Seseorang dinyatakan berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut meninggalkan kewajiban misalnya meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya. Disamping itu juga mengerjakan perbuatan yang haram, seperti minum khamer (alkohol), mencaci Rasulullah SAW, dan lain sebagainya. ( http://hizbut-tahrir.or.id/nikah-siri.php diakses tanggal 2 Maret 2010)
Ketentuan pencatatan untuk pernikahan sebenarnya menjadi tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah yang seharusnya proaktif mendata dan menyuluh masyarakat agar mencatatkan pernikahan. Selama ini tindakan yang dilakukan oleh pemerintah seperti menyelengarakan nikah massal dirasa kurang bermanfaat secara luas karena masih mencakup wilayah yang sempit. Begitu juga dengan pemuka agama yang bertanggung jawab memberikan tausiyah demi mempertajam dialektika masyarakat akan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur pernikahan.

Efektivitas Gagasan Sebagai Solusi Permasalahan Atas Rencana Pemidanaan Pelaku Nikah Siri.

Munculnya aturan yang multitafsir tentang perkawinan siri dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menjadi pokok problematika penerapan hukum. Perkawinan yang diatur dalam Al Qur’an sebagaimana telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditentukan Allah SWT maka telah sah perkawinan tersebut. Dalam ketentuan Islam yang mengedepankan kemaslahatan bagi umat manusia telah diatur bahwa perkawinan merupakan ikhwal yang sakral. Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan persyaratannya. Yaitu adanya dua calon pengantin baik bertatap muka atau jarak jauh, ada wali nikah dari pihak perempuan, ada saksi, ada maskawin, dan terlaksananya ijab-qabul perkawinan. Disamping itu, syarat bagi orang yang akan melangsungkan perkanikahan itu bukanlah pihak-pihak yang dilarang menikah menurut Islam. Seperti paman dengan keponakannya, haram untuk menikah.
Nikah Siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama, perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) pun menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada prinsipnya, selama pernikahan itu memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka dapat dipastikan secara agama bahwa pernikahan itu ada dasarnya dan sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menganjurkan agar pernikahan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya.
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam belum tentu syariat-syariat dapat diterapkan dalan kehidupan masyarakat. Harus diakui, sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini telah sukses memaksa sebagian orang terjerumus ke dalam kubangan perzinaan. Sistem tersebut tidak lain berisi sekumpulan aturan dan undang-undang yang mendukung sekularisme, liberalisme dan kapitalisme di berbagai aspek kehidupan. Lihatlah bagaimana sistem yang bekerja saat ini menghasilkan generasi para pezina, bahkan dalam usia yang sangat dini, melalui beberapa hal seperti yang diuraikan penulis di bawah ini.
Pendidikan sekuler yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengesampingkan agama. Kita bisa melihat praktek pendidikan sekuler di beberapa sekolah tingkat menengah, tingkat atas maupun tingkat dasar yang di dalamnya ditekankan lebih penting meraih kesejahteraan hidup dibandingkan dengan mendalami nilai-nilai agama. Misalnya kegiatan-kegiatan yang diadakan selama ini lebih ke konser musik atau peragaan busana yang ”menampilkan” aurat, dan lain sebagainya secara tidak langsung mempengaruhi kondisi psikis remaja untuk melakukan hal-hal yang berujung pada tindakan yang mendekati zina. Kegiatan keagamaan bagi remaja saat ini kiranya semakin dikesampingkan. Pendidikan sekuler ini nyata-nyata menjadikan masyarakat terutama generasi muda dibuat tidak matang secara intelektual, emosional apalagi moral. Dekadensi moral dan dikesampingkannya ajaran agama tentu menjadi perhatian serius seluruh elemen bangsa bahwa generasi muda paling rentan tergoda melakukan perbuatan yang mendekati zina. Akhirnya, mereka mudah terombang-ambing dan terjerumus ke dalam lembah maksiat, termasuk perzinaan.
Kemudahan mengakses sarana pornografi dan pornoaksi. Semua itu disediakan oleh pemrakarsa industri yang menjadikan aurat dan syahwat sebagai core-business (bisnis inti) mereka dan dilegalkan pemerintah. Hal tersebut mengandung makna bahwa lemahnya kontrol dan pengaturan oleh pemerintah atas konten pornografi dalam internet yang hingga saat ini tidak tersentuh hukum. Begitu pula pengaturan Internet Soft Product justru menuai protes karena bertentangan dengan kebebasan pers. Kemudahan akses internet terlebih web porno sangat mudah dan disembarang area dapat dilakukan karena berkembangnya fasilitas hotspot. Terlebih generasi muda yang terus-menerus dibombardir oleh berbagai sarana pornografi dan pornoaksi tersebut. Akibatnya, di tengah tidak adanya pegangan hidup yang kuat yaitu agama, hasrat seksual mereka pun tak terbendung. Saat sebagian dari mereka itu masih percaya dengan ikatan luhur pernikahan dan berniat untuk segera menikahi pasangan mereka, ironisnya pintu pernikahan dini pun ditutup rapat-rapat. Yang melanggar bisa dipidanakan. Akhirnya, mereka pun mencari jalan pintas dan aman: berzina. Kemudian ditambah dengan sanksi hukum yang tidak jelas. Hingga hari ini, dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemidanaan atas pelaku zina, selama dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal tidak ada orang yang berzina karena dipaksa. Intinya, zina tak lagi dianggap kriminal. Akibatnya, orang tak akan pernah merasa takut untuk melakukannya.
Dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama terdapat ketentuan pidana terkait dengan perkawinan siri dan perkawinan mut'ah (kontrak). Para pelaku yang melanggar ketentuan tersebut terancam hukuman penjara berkisar enam bulan hingga tiga tahun. Hal itu dilakukan agar tidak ada korban dalam anggota keluarga, seperti istri dan anak yang tidak bisa dilindungi oleh negara. Permasalahan yang dibahas selanjutnya adalah usulan mengkriminalisasi hal yang bersifat administratif itu. Dalam Hukum Positif, kesalahan administratif hukumannya pun administratif. Kesalahan administratif tidak bisa dipidanakan.
RUU Peradilan Agama juga terdapat ketentuan pidana mengenai orang yang menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dalam hal ini bisa petugas pencatat, dapat diancam dengan hukuman penjara berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun. Pasal 143 menyebutkan, pelaku nikah siri akan didenda maksimal Rp 6 juta atau kurungan maksimal enam bulan. Sedangkan pelaku kawin kontrak diancam pidana maksimal tiga tahun dan perkawinannya batal demi hukum. Bahkan, setiap lelaki yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari istri pertama. Izin tersebut harus disahkan di pengadilan, jika tidak maka akan didenda maksimal Rp 6 juta atau kurungan maksimal enam bulan penjara. ketentuan ini masih dalam kajian untuk disahkan, dimana dalam proses tersebut terdapat banyak kendala yang pada dasarnya dikarenakan ketidak sesuaian pada pandangan dalam konteks Hukum Islam.
Ketentuan pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) yang absah secara syar’i patut dipertanyakan motifnya. Pasalnya, jika alasannya karena praktik nikah siri dan poligami selama ini banyak merugikan pihak perempuan, terutama menyangkut hak-haknya di depan hukum/pengadilan (misal: sulit menuntut hak nafkah jika terjadi masalah dalam rumah tangganya, apalagi sampai terjadi perceraian; susah mendapat hak waris jika suami meninggal; sukar mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya; dll), maka yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Pemidanaan kepada pelaku pernikahan siri yang tertulis dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan kiranya tidak efektif diberlakukan. Pidana penjara dan denda yang dijatuhkan terlalu sedikit bagi orang kaya. Apabila pelaku pernikahan siri dipidana sesuai dengan RUU diatas yaitu 6 bulan atau membayar denda sebesar enam juta rupiah, maka selanjutnya bila pelaku melakukan perbuatan yang sama tidak akan bisa dituntut untuk kedua kalinya. Karena hal tersebut bertentangan dengan asas nebis in idem bahwa perkara yang sama, pelaku yang sama tidak bisa dituntut untuk kedua kali di pengadilan yang setingkat. Ketentuan pemidanaan tersebut merupakan ketentuan hukum positif bagi pernikahan siri di Indonesia. Tentu pemberlakuan ketentuan hukum posritif tidak bisa memaksa untuk mengesampingkan ketentuan agama. Apabila dipaksakan untuk mendiskreditkan agama, maka akan memicu kesenjangan hukum dan konflik horisontal dalam kehidupan bermasyarakat. Tolak tarik antara kepentingan hukum positif dengan agama justru akan menjadi problematika serius yang menghalangi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Berkaitan dengan pemidanaan pelaku nikah siri, peran stakeholder diperlukan secara proaktif dalam menangani permasalahan tolak tarik kepentingan hukum dan agama pemidanaan nikah siri. Jika RUU Pengadilan Agama Bidang Perkawinan tersebut disahkan sebagai UU, diperkirakan muncul problematika baru yakni perilaku masyarakat yang gemar melakukan pernikahan siri sembunyi-sembunyi demi memenuhi hasrat pribadinya. Tentu saja problematika diatas menjadi pekerjaan rumah baru bagi stakeholder terutama pemerintah karena pelaku pernikahan siri cenderung ”ingin” menguji kemampuan pemerintah dalam menegakkan pemidanaan pelaku pernikahan siri. Akhirnya harus terdapat kesesuaian antara peraturan perundang-undangan, ketentuan agama, dan langkah pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tolak tarik ketentuan hukum ini.

Pihak-Pihak yang Berkepentingan (Stakeholders) Dalam Gagasan Mengenai Pernikahan Siri.

Pemerintah
Dalam masalah rencana pemidanaan pernikahan siri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan di Indonesia, hendaknya pemerintah memperhatikan aspek-aspek kemasyarakatan agar kebijakan yang dikeluarkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi polemik ini. Langkah pemerintah mampu mengatasi permasalahan pernikahan siri secara efektif dan juga tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah berakar dalam masyarakat. Perlu diketahui bahwa dalam pernikahan siri yang dapat menimbulkan permasalahan adalah dicatat atau tidaknya suatu pernikahan tersebut dalam catatan pemerintah. Pencatatan pernikahan dalam hal ini dilandasi karena terancamnya hak-hak seorang istri dan anak apabila kelak terdapat konflik ketika pernikahan. Dalam hal pencatatan pernikahan yang harus dilakukan warga negara, sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam mengatur dan menjaga hak dari warga negara. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dijelaskan bahwa pencatatan pernikahan (sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 bahwa istilah perkawinan yang lebih lazim digunakan dalam penulisan adalah pernikahan) merupakan tanggung jawab negara yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Pemerintah yang menjalankan tugas negara melalui Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama secara tersirat diberi amanah untuk proaktif terjun langsung untuk mendata warga untuk mencatat pernikahan.

Hakim Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan lembaga yang diembankan oleh negara untuk mengurusi masalah pernikahan warga negaranya. Dalam hal ini penulis mengkaji peran hakim sebagai penentu keputusan terhadap masalah pernikahan. Ketika masalah dalam pernikahan diajukan di Pengadilan Agama, hakim harus menggali nilai-nilai luhur agama sebagai pertimbangan dalam memutus perkara. Rencana pemerintah untuk memidanakan pelaku pernikahan siri memberikan pedoman kepada hakim dalam mengambil keputusan. Namun dalam masalah agama, keputusan tidak hanya ditentukan oleh prosedur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, melainkan perlu juga mempertimbangkan kemaslahatan umat agama. Hal yang mendasari pemahaman dan kebijakan seorang hakim dalam memandang suatu permasalahan hukum yang bersangkutan dengan keadilan, hakim tidak hanya memandang hukum dari sudut materiil peraturan saja. Apabila keputusan yang diambil hakim mendiskreditkan aspek kemasyarakatan yang berkaitan dengan hati nurani, artinya hakim tersebut kurang memahami konsep keadilan diluar peraturan-peraturan yang ada dengan kata lain hakim tidak progresif ketika menangani perkara hukum yang bertujuan menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Pencatat Sipil
Suatu pernikahan telah dihimbau oleh pemerintah untuk dicatatkan guna adanya kepastian formal dan diakui oleh negara. Hal ini sebagai upaya pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dalam mencatatkan pernikahan. Namun pada penerapannya pemerintah yang dalam hal ini diwakilkan oleh Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Dispendukcapil) selaku pencatat pernikahan terlalu mempersulit proses pencatatan pernikahan. Misalnya sebatas mengurus buku nikah harus melalui alur yang ”panjang” mulai dari RT, RT, Kelurahan, Kecatmatan, ke Dispendukcapil, kemudian legalisir surat nikah ke Kecamatan lagi, lalu membuat surat pernyataan bermaterai yang harus ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk Dispendukcapil, dan kembali ke Dispendukcapil untuk mengambil catatan pernikahan. Paparan alur tersebut belum ditambah dengan biaya yang harus dikeluarkan dalam mengurusnya juga waktu yang relatif lama. Belum tentu semua warga mampu untuk membayar seluruh biaya administrasi pencatatan pernikahan karena memang tidak sedikit warga yang tergolong ekonomi lemah. Sekelumit prosedur pencatatan pernikahan yang penulis uraikan sesuai dengan alur yang tertera di Dispendukcapil, kiranya terlalu rumit bagi sebagian masyarakat sehingga masyarakat yang tidak ingin direpotkan oleh proses yang tidak efisien tersebut lebih memilih untuk menunda-nunda melakukan pencatatan pernikahan setelah melangsungkan pernikahan siri.

Pemuka Agama
Dalam pernikahan, pemahaman mengenai makna dari sebuah pernikahan yang merupakan suatu ikatan yang sakral untuk menjalin hubungan lahir dan batin antara seorang suami dengan seorang istri (menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, asas perkawinan di Indonesia adalah monogami) harus benar-benar dipahamkan secara mendalam di hati kedua belah pihak yang melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini fungsi seorang pemuka agama sangatlah penting untuk memberikan tausyah-tausyah mengenai makna dalam suatu pernikahan sehingga mampu menguatkan komitmen dalam pernikahan agar tidak mendekati zina.

Langkah-Langkah Strategis Gagasan.

Gagasan yang diberikan penulis dalam PKM-GT ini sesuai dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai maka perlu untuk dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut :
Pemerintah dalam menjalankan kewajiban pencatatan pernikahan agar proaktif mendata warga secara berkala untuk menghindari dampak negatif yang berujung pemidanaan pelaku pernikahan siri. Program sensus seharusnya dioptimalkan sebagai sarana bagi warga yang dituntut mencatatkan pernikahan dengan lebih mudah secara prosedural.
Pemuka agama sebagai panutan masyarakat dapat lebih mengintensifkan kegiatan keagamaan seperti tausyiah-tausyiah yang berguna memperdalam pemahaman masyarakat akan pentingnya menghargai nilai-nilai luhur pernikahan agar dapat menjauh dari perbuatan-perbuatan yang mendekati zina. Pemuka agama juga berfungsi sebagai penengah/pendamai apabila terdapat permasalahan dalam pernikahan misalnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cekcok Suami Istri, dan lain sebagainya. Sehingga ke depannya apabila RUU Hukum Materiil Peradilan Agama disahkan sebagai Undang-Undang dapat mengurangi potensi munculnya pelaku pernikahan siri yang bisa dijatuhi pidana. Karena tidak semua penyelesaian masalah dalam pernikahan dapat memenuhi keadilan dan kemanfaatan jika diselesaikan melalui peradilan.
Dinas Kependudukan Catatan Sipil sebagai pihak yang memiliki peran vital dalam pencatatan pernikahan seharusnya memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus pencatatan pernikahan. Kemudahan prosedur dapat berupa alur waktu pengurusan yang lebih singkat, biaya yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dan tentu saja menghapus pungutan liar.
Langkah strategis juga dilakukan oleh Hakim Peradilan Agama yang harus menggali nilai-nilai keagamaan yang ada di masyarakat yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memutus perkara pernikahan. Hakim harus mengedepankan progresivitas hukum sehingga menghasilkan keputusan yang sesuai dengan kemaslahatan.

KESIMPULAN

Gagasan Tertulis

Dari uraian pendahuluan sampai dengan pokok-pokok gagasan, penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa gagasan yang akan penulis kemukakan dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut :
Rencana pemberlakuan pengaturan pernikahan siri dalam Hukum Islam memunculkan problematika dalam masyarakat dimana keabsahan pernikahan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan agama dalam kenyataan disebut pernikahan siri karena tidak dicatat dalam kantor catatan sipil. Pernikahan yang sah menurut Agama Islam sama dengan ketentuan hukum positif dalam penyebutan nikah siri. Oleh karena itu sekiranya pemerintah tidak perlu memaksakan ketentuan pemidanaan bagi semua pelaku pernikahan siri karena jika dipaksakan untuk dipenjara maka penjara akan penuh padahal lahan penjara saat ini sudah overload. Meskipun dikenai pidana denda sebesar ketentuan dalam RUU Pengadilan Agama Bidang Perkawinan, juga tidak efektif karena besarnya denda yang terlalu sedikit bagi orang yang mampu secara ekonomi sehingga jika mengulangi perbuatan untuk kedua kalinya tidak dapat dituntut (nebis in idem).
Berkaitan dengan pemidanaan pelaku nikah siri, peran stakeholders diperlukan secara proaktif dalam menangani permasalahan tolak tarik kepentingan hukum dan agama pemidanaan nikah siri. Jika RUU Pengadilan Agama Bidang Perkawinan disahkan sebagai UU, diperkirakan muncul problematika baru yakni perilaku masyarakat yang gemar melakukan pernikahan siri sembunyi-sembunyi demi memenuhi hasrat pribadinya. Tentu saja problematika diatas menjadi pekerjaan rumah baru bagi stakeholder terutama pemerintah karena pelaku pernikahan siri cenderung ”ingin” menguji kemampuan pemerintah dalam menegakkan pemidanaan pelaku pernikahan siri. Akan lebih baik jika Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan diganti dengan substansi yang sarat akan sanksi pidana terhadap pelaku zina maupun pelaku penodaan agama yang selama ini belum diakomodasi dalam peraturan hukum tertulis. Akhirnya harus terdapat kesesuaian antara peraturan perundang-undangan, ketentuan agama, dan langkah pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tolak tarik ketentuan hukum ini.
Pengaturan pernikahan siri yang dibahas sangat berlarut-larut dalam mesyarakat tidak menemukan hasil yang signifikan karena perbuatan yang lain seperti zina, kawin kontrak (muth’ah), dan poligami lebih pantas untuk diatur dalam ketentuan peratutan perundang-undangan tersendiri yang selama ini belum terakomodir.

Implementasi Gagasan

Gagasan yang telah penulis paparkan diatas akan bermanfaat sesuai dengan tujuan apabila diimplementasikan dalam aspek nyata. Gagasan penulis menjadi sebuah referensi bahwa tidak semua peraturan perundang-undangan mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana telah penulis uraikan dalam gagasan, kiranya dapat melaksanakan langkah-langkah strategis dalam upaya menemukan solusi atas pemidanaan pelaku nikah siri. Pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam mendata warga yaitu dengan terjun langsung ke masyarakat baik itu memberikan penyuluhan mengenai pentingnya pencatatan pernikahan dan memberikan fasilitas yang memadai bagi masyarakat dalam mengurus pernikahan yang sah secara hukum positif. Pemuka agama selaku panutan bahkan hakim di masyarakat dapat menanamkan gagasan penulis bahwa tidak semua permasalahan itu hanya bisa diselesaikan melalui pengadilan apalagi mengenai pernikahan. Selanjutnya masyarakat juga harus menyadari bahwa pernikahan yang sah secara agama juga dicatatkan dan diumumkan karena walimatul ’ursy. Masyarakat juga harus lebih jeli dalam membahas fenomena karena pernikahan siri yang tiba-tiba dipermasalahkan secara hukum positif kiranya tidak efektif untuk dipidanakan. Justru masalah zina yang dilegalkan pemerintah seperti lokalisasi, bebasnya masyarakat dalam mengakses website porno, dan prostitusi legal lainnya lebih pantas untuk dikenai sanksi pidana dalam hukum positif dan agama pun dengan jelas melarangnya karena merupakan perbuatan maksiat.

Prediksi Gagasan Menyoal Efektivitas Pemidanaan Pelaku Pernikahan Siri.

Dalam implementasi gagasan penulis memaparkan bahwa tidak akan berguna jika peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat hanya peraturan tertulis dalam hukum positif saja. Ketentuan agama yang merupakan pedoman hidup setiap insan Tuhan tidak boleh dikesampingkan demi tegaknya hukum positif. Gagasan penulis atas fenomena rencana pemidanaan pelaku pernikahan siri nantinya, apabila RUU Huum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan disahkan menjadi Undang-Undang dan ternyata bertentangan dengan ketentuan agama tertentu, maka dapat diajukan judicial review yang bertujuan memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat secara umum. Namun apabila RUU tersebut tidak jadi disahkan, akan lebih baik jika diubah substansinya untuk memidanakan pelaku perzinahan dan meniadakan kawasan-kawasan prostitusi legal di Indonesia.

Disusun oleh:

Harris Fadillah Wildan E 0006141 (Ketua)
Muhamad Arif Setiawan E 0007165 (Anggota)
Miqdad Azizta Pugara E 0009219 (Anggota)
baca selengkapnya...